Biografi Sahabat Rosulullah

Sahabat Nabi

Sahabat Nabi

Sahabat Nabi, dari kata shahabah (ash-shahaabah, الصحابه) adalah mereka yang mengenal dan melihat langsung Nabi Muhammad SAW, membantu perjuangannya dan meninggal dalam keadaan Muslim.

 Definisi

Ibnu Hajar al-Asqalani asy-Syafi’i pernah berkata:

“Ash-Shabi (sahabat) ialah orang yang bertemu dengan Rasulullah SAW, beriman kepada beliau dan meninggal dalam keadaan Islam”[1]

Kebanyakan muslim mendefinisikan para sahabat sebagai mereka yang mengenal Nabi Muhammad SAW, mempercayai ajarannya, dan meninggal dalam keadaan Islam. Para sahabat utama yang biasanya disebutkan hingga 50 sampai 60 nama, yakni mereka yang sangat dekat dengan Nabi Muhammad SAW. Sahabat disebut pula murid Nabi Muhammad.

Identifikasi terhadap sahabat nabi, termasuk status dan tingkatannya merupakan hal yang penting dalam dunia Islam karena dapat digunakan untuk mengevaluasi keabsahan suatu hadits maupun perbuatan Nabi yang diriwayatkan oleh mereka.

Tingkatan Sahabat

Menurut al-Hakim dalam Mustadrak, Sahabat terbagi dalam beberapa tingkatan, yaitu:

  1. Para sahabat yang masuk Islam di Mekkah, sebelum melakukan hijrah, seperti Khulafa’ur Rasyidin
    1. Khadijah binti Khuwailid
    2. Ali bin Abi Thalib
    3. Zaid bin Haritsah
    4. Abu Bakar ash-Shiddiq
    5. Umar bin Khattab
    6. Utsman bin Affan
    7. Abbas bin Abdul Muthalib
    8. Hamzah bin Abdul Muthalib
    9. Ja’far bin Abi Thalib
  2. Para sahabat yang mengikuti majelis Darunnadwah
  3. Para sahabat yang ikut serta berhijrah ke negeri Habasyah
  4. Para sahabat yang ikut serta pada bai’at Aqabah pertama
  5. Para sahabat yang ikut serta pada bai’at Aqabah kedua
  6. Para sahabat yang berhijrah setelah sampainya Rasulullah ke Madinah
  7. Para sahabat yang ikut serta pada perang Badar
  8. Para sahabat yang berhijrah antara perang Badar dan perjanjian Hudaibiyyah
  9. Para sahabat yang ikut serta pada bai’at Ridhwan
  10. Para sahabat yang berhijrah antara perjanjian Hudaibiyyah dan fathu Makkah
    1. Khalid bin Walid
    2. Amru bin Ash
  11. Para sahabat yang masuk Islam pada fathu Makkah,
    1. Abu Sufyan
    2. Mu’awiyah bin Abu Sufyan
    3. Ikrimah bin Abu Jahal
  12. Bayi-bayi dan anak-anak yang pernah melihat Rasulullah saw pada fathu Makkah

Beberapa sahabat yang terkenal

Ahlul Bait

Ahlul-Bait (Bahasa Arab: أهل البيت) adalah istilah yang berarti “Orang Rumah” atau keluarga. Dalam tradisi Islam istilah itu mengarah kepada keluarga Muhammad. Terjadi perbedaan dalam penafsiran baik Muslim Syi’ah maupun Sunni. Syi’ah berpendapat bahwa Ahlul Bait mencakup lima orang yaitu Ali, Fatimah, Hasan dan Husain sebagai anggota Ahlul Bait (di samping Muhammad). Sementara Sunni berpendapat bahwa Ahlul Bait adalah keluarga Muhammad dalam arti luas, meliputi istri-istri dan cucu-cucunya, hingga kadang-kadang ada yang memasukkan mertua-mertua dan menantu-menantunya. Istilah Ahlul Bait

Syi’ah

Kaum Syi’ah lebih mengkhususkan istilah Ahlul Bait Muhammad yang hanya mencakup Ali dan istrinya Fatimah, putri Muhammad beserta putra-putra mereka yaitu al-Hasan dan al-Husain (4 orang ini bersama Muhammad juga disebut Ahlul Kisa atau yang berada dalam satu selimut) dan keturunan mereka.

Hal ini diperkuat pula dengan hadits-hadits seperti contoh berikut:

Aisyah menyatakan bahwa pada suatu pagi, Rasulullah keluar dengan mengenakan kain bulu hitam yang berhias. Lalu, datanglah Hasan bin Ali, maka Rasulullah menyuruhnya masuk. Kemudian datang pula Husain lalu beliau masuk bersamanya. Datang juga Fathimah, kemudian beliau menyuruhnya masuk. Kemudian datang pula Ali, maka beliau menyuruhnya masuk, lalu beliau membaca ayat 33 surah al-Ahzab, “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.[1]

Sunni dan Salafi

Makna “Ahl” dan “Ahlul Bait” dalam pengertian leksikal berarti penghuni rumah, termasuk isteri dan anak-anak. Pengertian ini dianut sebagian kalangan Sunni dan Salafi, yang menyatakan bahwa ahlul bait Muhammad mencakup pula istri-istri, mertua-mertua, juga menantu-menantu dan cucu-cucunya.

Sufi dan sebagian Sunni

Kalangan Sufi dan sebagian kaum Sunni menyatakan bahwa Ahlul-Bait adalah anggota keluarga Muhammad yang dalam hadits disebutkan haram menerima zakat, seperti keluarga Ali dan Fatimah beserta putra-putra mereka (Hasan dan Husain) serta keturunan mereka. Juga keluarga Abbas bin Abdul-Muththalib, serta keluarga-keluarga Ja’far dan Aqil yang bersama Ali merupakan putra-putra Abu Thalib.

Adapun risalah lengkap sebagaimana yang tercantum dalam Shahih Muslim adalah sebagai berikut:

Yazid bin Hayyan berkata, “Aku pergi ke Zaid bin Arqam bersama Husain bin Sabrah dan Umar bin Muslim. Setelah kami duduk, Husain berkata kepada Zaid bin Arqam, ‘Hai Zaid, kau telah memperoleh kebaikan yang banyak. Kau melihat Rasulullah, kau mendengar sabda beliau, kau bertempur menyertai beliau, dan kau telah salat dengan diimami oleh beliau. Sungguh kau telah memperoleh kebaikan yang banyak. Karena itu, sampaikan kepada kami hai Zaid, apa yang kau dengar dari Rasulullah!'”

“Kata Zaid bin Arqam, ‘Hai kemenakanku, demi Allah, aku ini sudah tua dan ajalku sudah semakin dekat. Aku sudah lupa sebagian dari apa yang aku dengar dari Rasulullah. Apa yang bisa aku sampaikan kepadamu terimalah dan apa yang tidak bisa aku sampaikan kepadamu janganlah kamu memaksaku untuk menyampaikannya.'”

“Kemudian Zaid bin Arqam mengatakan, ‘Pada suatu hari Rasulullah berdiri dengan berpidato di suatu tempat air yang disebut Khumm antara Mekkah dan Madinah. Ia memuji Allah, kemudian menyampaikan nasihat dan peringatan, lalu beliau bersabda, Ketahuilah saudara-saudara bahwa aku adalah manusia seperti kalian. Sebentar lagi utusan Tuhanku (malaikat pencabut nyawa) akan datang lalu dia diperkenankan. Aku akan meninggalkan untuk kalian dua hal yang berat, yaitu: 1) Al-Qur’an yang berisi petunjuk dan cahaya, karena itu laksanakanlah isi Al-Qur’an dan pegangilah. (Beliau mendorong dan mengimbau pengamalan Al-Qur’an). 2) Keluargaku. Aku ingatkan kalian agar berpedoman dengan hukum Allah dalam memperlakukan keluargaku (tiga kali)“.

Husain bertanya kepada Zaid bin Arqam, “Hai Zaid, siapa Ahlul Bait (keluarga) Rasulullah itu? Bukankah istri-istri beliau Ahlul Baitnya?”

Kata Zaid bin Arqam, “Istri-istri beliau adalah Ahlul Baitnya, tetapi Ahlul Bait beliau adalah orang yang diharamkan menerima zakat sampai sepeninggal beliau.”

Kata Husain, “Siapa mereka itu?”

Kata Zaid bin Arqam, “Mereka adalah keluarga Ali, keluarga Aqil, keluarga Ja’far dan keluarga Abbas.”

Kata Husain, “Apakah mereka semua diharamkan menerima zakat?”

Jawab Zaid, “Ya.”[2]

Istilah Ahlul Kisa

Kaum Sufi yang memiliki keterikatan dengan Ahlul Kisa, yaitu keluarga Ali bin Abu Talib k.w.[3] dan Fatimah az-Zahra baik secara zhahir (faktor keturunan) dan secara bathin (do’a dan amalan) sangat mendukung keutamaan Ahlul Kisa. Tetapi, Sufi berpendapat bahwa Ahlul Bait bukan hanya Ahlul Kisa sesuai dengan hadits tsaqalayn. Sufi berpendapat bahwa Ahlul Bait adalah mereka yang haram menerima zakat, yaitu keluarga Ali, Aqil dan Ja’far (yang merupakan putra-putra Abu Thalib) dan keluarga Abbas (Hadits Shahih Muslim dari Zaid bin Arqam). Dengan demikian kaum Sufi dalam hal kekhalifahan memiliki perbedaan tajam dengan kaum Syi’ah.

Hadist Shahīh Ahlul Kisa

Shahīh Muslim, vol. 7, hal. 130

Aisyah berkata, “Pada suatu pagi, Rasulullah saw keluar rumah menggunakan jubah (kisa) yang terbuat dari bulu domba. Hasan datang dan kemudian Rasulullah menempatkannya di bawah kisa tersebut. Kemudian Husain datang dan masuk ke dalamnya. Kemudian Fatimah ditempatkan oleh Rasulullah di sana. Kemudian Ali datang dan Rasulullah mengajaknya di bawah kisa dan berkata,

“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al-Ahzab [33]:33)[4]

Sunan at-Turmudzi, Kitab al-Manâqib

Ummu Salamah mengutip bahwa Rasulullah saw menutupi Hasan, Husain, Ali dan Fatimah dengan kisa-nya, dan menyatakan, “Wahai Allah! Mereka Ahlul Baitku dan yang terpilih. Hilangkan dosa dari mereka dan sucikanlah mereka!”

Ummu Salamah berkata, “Aku bertanya pada Rasulullah saw, Wahai Rasul Allah! Apakah aku termasuk di dalamnya?” Beliau menjawab, “Engkau berada dalam kebaikan (tetapi tidak termasuk golongan mereka).”

Imam Turmudzi menulis di bawah hadits ini, “Hadits ini shahīh dan bersanad baik, serta merupakan hadits terbaik yang pernah dikutip mengenai hal ini.”[5]

Interpretasi Syi’ah, Sunni dan Sufi

Syi’ah

Kaum Syi’ah, khususnya Mazhab Dua Belas Imam menafsirkan bahwa Ahlul Bait adalah “anggota rumah tangga” Muhammad dan mempercayai bahwa mereka terdiri dari: Muhammad, Ali bin Abi Thalib, Fatimah az-Zahra, Hasan bin Ali, dan Husain bin Ali.

Kaum Syi’ah percaya bahwa yang dimaksud dengan Ahlul Bait yang disucikan sesuai dengan ayat tathîr (penyucian) (QS. Al-Ahzab [33]:33), adalah mereka yang termasuk dalam Ahlul-Kisa yaitu Muhammad, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain serta 9 imam berikutnya yang merupakan keturunan dari Husain.

Sesuai dengan hadits di atas, Syi’ah berpendapat bahwa istri-istri Muhammad tidak termasuk dalam Ahlul Bait, sebagaimana pendapat Sunni yang memasukkan istri-istri Muhammad.

Sunni dan Salafi

Kaum Sunni juga mempercayai hadits sahih mengenai keistimewaan kedudukan Ahlul Bait tersebut seperti kaum Syi’ah, meskipun kaum Sunni tidak berpendapat bahwa hak kepemimpinan umat (khalifah) harus dipegang oleh keturunan Ahlul Bait. Hadits itu juga menyatakan bahwa kedua cucu Muhammad, yaitu Hasan bin Ali dan Husain bin Ali, adalah sayyid (pemuka).

Muhammad bin Abdul Wahhab menolak pengistimewaan yang berlebihan terhadap keturunan Ahlul Bait. Ini kemungkinan disebabkan karena pertentangan mereka terhadap kaum Syi’ah, meskipun kaum Sunni pada umumnya tetap memandang hormat terhadap para keturunan Ahlul Bait.

Kaum Wahhabi berpendapat bahwa istilah Ahlul Bait memang hanya mencakup keluarga Ali, akan tetapi keluarga Muhammad mencakup seluruh umat Muslim yang taat, sebab hubungan kekeluargaan tersebut adalah berdasarkan takwa pada kepercayaan Islam, dan bukan berdasarkan pada darah keturunan. Kaum Wahhabi percaya bahwa setiap orang yang taat adalah bagian dari Ahlul Bait, dan bahwa beberapa orang secara khusus disebutkan sebagai bagian daripadanya. Beberapa orang ini, adalah istri-istri Muhammad, yang menurut pendapat mereka disebutkan di dalam Al Qur’an sebagai bagian dari Ahlul Bait.

Sufi

Kaum Sufi menyepakati bahwa semua pendiri Tariqah Mu’tabaroh mestilah dari golongan Ahlul Bait, yaitu berasal dari keturunan Hasan bin Ali atau Husain bin Ali.

Para masyaikh pendiri tariqah-tariqah Islam setelah wafatnya Rasulullah yang merupakan golongan Ahlul Bait, misalnya:

  • As-Sayyid As-Syaikh Bahau’uddin Naqsyabandi (Tariqah Naqsyabandi)
  • As-Sayyid Al-Faqih Muqaddam Muhammad bin ‘Ali BaAlawi Al-Husaini (Tariqah Al-BaAlawi)
  • As-Sayyid As-Syaikh Abdul Qadir Jilani Al-Hasani (Tariqah Qadiriyah)
  • As-Sayyid As-Syaikh Ahmad bin Idris Al-Hasani (Tariqah Ahmadiyah Idrissiyah)
  • As-Sayyid As-Syaikh Abil Hasan Asy-Syazuli (Tariqah Syadziliyyah)

Silsilah ajaran mereka kebanyakannya melalui Imam Ja’far ash-Shadiq, dan semuanya mendapat sanad dari Ali bin Abi Thalib. Tariqah Naqsyabandiah adalah satu-satunya tariqah yang juga mendapat sanad dari Abu Bakar.

Kekhalifahan

Kaum Sufi berpendapat kekhalifahan ada 2 macam, yaitu :

  • Khalifah secara zhahir (Waliyyul Amri, Surat An Nisaa’ ayat 59) “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri (pemimpin) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” atau mereka yang menjadi kepala pemerintahan umat Islam; dan
  • Khalifah secara bathin (Waliyyul Mursyid, Surat Al Kahfi ayat 17) “Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka berada dalam tempat yang luas dalam gua itu. Itu adalah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpinpun yang dapat memberi petunjuk (Waliyyan Mursyida) kepadanya.” atau mereka yang menjadi pembina rohani umat Islam.

Khalifah zhahir

Menurut kalangan Sufi kekhalifahan yang zhahir (lahiriah) boleh saja dipegang oleh orang muslim yang kurang beriman atau mukmin tapi kurang bertakwa, dalam keadaan darurat atau karena sudah takdir yang tak bisa dihindari. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya perkataan ‘athii’ sebelum ‘waliyyul amri’, kata ‘athii’ atau taatlah hanya ditempelkan kepada ‘Allah’ kemudian ditempelkan kepada ‘Rasul’ sehingga lafadz lengkapnya menjadi, ”Athiiullahu wa athiiurasuul wa ulil amri minkum”. Berarti taat yang mutlak hanya kepada Allah dan Rasulnya. Taat kepada ulil amri (pemimpin) dapat dilakukan dengan syarat ia taat lebih dulu kepada Allah dan Rasulnya. Memilih seorang pemimpin atas dasar ketaatan kepada Allah adalah hal yang logis dan jauh lebih mudah dari pada memilih seorang pemimpin atas dasar ‘maksum‘ atau kesucian, karena ‘taat’ kepada Allah adalah suatu yang dapat terlihat kurang-lebihnya di dalam kehidupan seseorang.

Dengan kata lain ayat ini dalam pandangan kaum Sunni dan kaum Sufi menunjukkan tidak adanya syarat ‘maksum’ bagi Waliyyul Amri (pemimpin pemerintahan). Sangat mungkin ini adalah petunjuk Allah bagi umat Islam untuk menerima siapapun pemimpinnya di setiap zaman, selama ia taat kepada Allah dan Rasulnya, karena sesuai dengan akal sehat yang dimiliki umat manusia bahwa ‘tak ada yang mengetahui hamba Allah yang suci atau ‘maksum’, kecuali Allah sendiri.’

Khalifah bathin

Kekhalifahan bathin, karena harus mempunyai syarat kewalian dalam pengertian bathin, tak mungkin dijatuhkan kecuali kepada orang mukmin yang bertakwa dan dicintai Allah (Surat Yunus 62-64). Kekhalifahan bathin atau jabatan Waliyyul Mursyid (pemimpin rohani) adalah mereka yang mempunyai ilmu dan karakter (kurang-lebih) seperti Nabi Khidir di dalam Surat Al Kahfi. Hikmah tidak disebutkannya kata ‘Nabi Khidir’ juga boleh jadi mengisyaratkan setiap zaman akan ada manusia yang terpilih seperti itu.

Didalam sejarah tarekat kaum Sufi, para Wali Mursyid sebagian besarnya adalah keturunan Ali dari Fatimah baik melalui Hasan dan Husain. Menurut kaum Sufi memaksakan kekhalifahan zhahir hanya untuk keluarga Ali adalah suatu yang musykil/mustahil karena bila menolak 3 khalifah sebelumnya (yang telah disetujui oleh mayoritas) berarti membuat perpecahan dalam umat Islam, juga bertentangan dengan prinsip akal sehat, karena boleh jadi seorang kurang ber-taqwa tapi dalam hal pemerintahan sangat cakap. Sedangkan seorang yang ber-taqwa justru mungkin saja tidak menguasai masalah pemerintahan.

Bila menganggap Imamah adalah Khalifah Bathin mungkin saja bisa, tapi membatasi hanya 12 bertentangan dengan banyak hadits shahih tentang para Wali Allah yang tidak pernah disebut dari keluarga tertentu, apalagi dengan pembatasan jumlahnya. Idealnya memang seorang Khalifah zhahir (Waliyyul Amri) dipilih dari mereka yang juga menjabat Khalifah bathin (Waliyyul Mursyid). Tapi pertanyaannya siapakah yang mengetahui Wali-wali Allah, apalagi yang berderajat Waliyyul Mursyid, kalau bukan Allah sendiri.

Perkembangan Ahlul Bait

Setelah wafatnya Muhammad

Berkembangnya Ahlul-Bait walaupun sepanjang sejarah kekuasaan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah mengalami penindasan luar biasa, adalah berkah dari do’a Muhammad kepada mempelai pengantin Fatimah putri beliau dan Ali di dalam pernikahan yang sangat sederhana.

Doa Nabi SAW adalah,”Semoga Allah memberkahi kalian berdua, memberkahi apa yang ada pada kalian berdua, membuat kalian berbahagia dan mengeluarkan dari kalian keturunan yang banyak dan baik”

Setelah mengalami titik noda paling kelam dalam sejarah Bani Umayyah, dimana cucu Nabi SAW, al-Husain bersama keluarga dibantai di Karbala, pemerintahan berikutnya dari Bani Abbasiyah yang sebetulnya masih kerabat (diturunkan melalui Abbas bin Abdul-Muththalib) tampaknya juga tak mau kalah dalam membantai keturunan Nabi SAW yang saat itu sudah berkembang banyak baik melalui jalur Ali Zainal Abidin satu-satunya putra Husain bin Ali yang selamat dari pembantaian di Karbala, juga melalui jalur putra-putra Hasan bin Ali.

Setelah berakhirnya Bani Abbasiyah

Perkembangan di berbagai negara

Menurut berbagai penelaahan sejarah, keturunan Hasan bin Ali banyak yang selamat dengan melarikan diri ke arah Barat hingga mencapai Maroko. Sampai sekarang, keluarga kerajaan Maroko mengklaim keturunan dari Hasan melalui cucu beliau Idris bin Abdullah, karena itu keluarga mereka dinamakan dinasti Idrissiyyah.[6] Selain itu pula, ulama-ulama besar seperti Syekh Abu Hasan Syadzili Maroko (pendiri Tarekat Syadziliyah) yang nasabnya sampai kepada Hasan melalui cucunya Isa bin Muhammad.

Mesir dan Iraq adalah negeri yang ulama Ahlul Baitnya banyak dari keturunan Hasan dan Husain. Abdul Qadir Jaelani seorang ulama yang dianggap sebagai Sufi terbesar dengan julukan ‘Mawar kota Baghdad’ adalah keturunan Hasan melalui cucunya Abdullah bin Hasan al-Muthanna.

Persia hingga ke arah Timur seperti India sampai Asia Tenggara (termasuk Indonesia) didominasi para ulama dari keturunan Husain bin Ali. Bedanya, ulama Ahlul Bait di tanah Parsi banyak dari keturunan Musa al-Kadzim bin Ja’far ash-Shadiq seperti Ayatullah Ruhollah Khomeini karena itu ia juga bergelar Al-Musawi karena keturunan dari Imam Musa al-Kadzim, sedangkan di Hadramaut (Yaman), Gujarat dan Malabar (India) hingga Indonesia ulama Ahlul Baitnya banyak dari keturunan Ali Uraidhi bin Jafar ash-Shadiq terutama melalui jalur Syekh Muhammad Shahib Mirbath dan Imam Muhammad Faqih Muqaddam ulama dan sufi terbesar Hadramaut di zamannya (abad 12-13M).

Walaupun sebagian besar keturunan Ahlul Bait yang ada di Nusantara termasuk Indonesia adalah dari Keturunan Husain bin Ali namun terdapat juga yang merupakan Keturunan dari Hasan bin Ali, bahkan Keturunan Hasan bin Ali yang ada di Nusantara ini sempat memegang pemerintahan secara turun temurun di beberapa Kesultanan di Nusantara ini, yaitu Kesultanan Brunei, Kesultanan Sambas dan Kesultanan Sulu sebagaimana yang tercantum dalam Batu Tarsilah / Prasasti dan beberapa Makam dan juga Manuskrip yang tersebar di Brunei, Sambas (Kalimantan Barat) dan Sulu (Selatan Filipina), yaitu melalui jalur Sultan Syarif Ali (Sultan Brunei ke-3) yang merupakan keturunan dari Syarif Abu Nu’may Al Awwal. Sementara dari keturunan Husain bin Ali memegang kesultan di Jawa bagian barat, yang berasal dari Syarif Hidayatulah, yaitu Kesultanan Cirebon (yang kemudian pecah menjadi tiga kerajaan, Kesultanan Kasepuhan, Kanoman dan Kacirebonan) dan Kesultanan Banten. Sebagai kerurunan Syarif Hidayatulah keturunan merekapun berhak menyandang gelar Syarif/Syarifah, namun dari keturunan Syarif Hidayatullah gelar tersebut akhirnya dilokalisasi menjadi Pangeran, Tubagus/Ratu (Banten) dan Raden (Sukabumi, Bogor).

Mazhab yang dianut

Mazhab yang dianut para ulama keturunan Husain pun terbagi dua; di Iran, Iraq dan sekitarnya menganut Syi’ah, sedangkan di Yaman, India hingga Indonesia menganut Sunni yang condong kepada tasawuf). Para ulama keturunan Hasan dari Mesir hingga Maroko hampir semuanya adalah kaum Sunni yang condong kepada tasawuf.

Ahlul Bait

Ahlul Bait

Artikel ini adalah bagian dari seri
Islam

Rasul

Nabi Muhammad SAW
.

Kitab Suci

Al-Qur’an
.

Rukun Islam

1. Syahadat · 2. Salat · 3. Zakat
4. Puasa · 5. Haji

Rukun Iman

Iman kepada: 1. Allah
2. Malaikat · 3. Kitab Allah ·4. Rasul
5. Hari Akhir · 6. Qada & Qadar

Tokoh Islam

Muhammad SAW
Nabi & Rasul · Sahabat
Ahlul Bait

Kota Suci

Mekkah · & · Madinah

Kota suci lainnya

Yerusalem · Najaf · Karbala
Kufah · Kazimain
Mashhad ·Istanbul · Ghadir Khum

Hari Raya

Idul Fitri · & · Idul Adha

Hari besar lainnya

Isra dan Mi’raj · Maulid Nabi
Asyura

Arsitektur

Masjid ·Menara ·Mihrab
Ka’bah · Arsitektur Islam

Jabatan Fungsional

Khalifah ·Ulama ·Muadzin
Imam·Mullah·Ayatullah · Mufti

Hukum Islam

Al-Qur’an ·Hadist
Sunnah · Fiqih · Fatwa
Syariat · Ijtihad

Manhaj

Salafush Shalih

Mazhab

1. Sunni:
Hanafi ·Hambali
Maliki ·Syafi’i

2. Syi’ah:
Dua Belas Imam
Ismailiyah·Zaidiyah

3. Lain-lain:
Ibadi · Khawarij
Murji’ah·Mu’taziliyah

Lihat Pula

Portal Islam

Indeks mengenai Islam

lihat • bicara • sunting

Ahlul-Bait (Bahasa Arab: أهل البيت) adalah istilah yang berarti “Orang Rumah” atau keluarga. Dalam tradisi Islam istilah itu mengarah kepada keluarga Muhammad. Terjadi perbedaan dalam penafsiran baik Muslim Syi’ah maupun Sunni. Syi’ah berpendapat bahwa Ahlul Bait mencakup lima orang yaitu Ali, Fatimah, Hasan dan Husain sebagai anggota Ahlul Bait (di samping Muhammad). Sementara Sunni berpendapat bahwa Ahlul Bait adalah keluarga Muhammad dalam arti luas, meliputi istri-istri dan cucu-cucunya, hingga kadang-kadang ada yang memasukkan mertua-mertua dan menantu-menantunya.

 Istilah Ahlul Bait

Syi’ah

Kaum Syi’ah lebih mengkhususkan istilah Ahlul Bait Muhammad yang hanya mencakup Ali dan istrinya Fatimah, putri Muhammad beserta putra-putra mereka yaitu al-Hasan dan al-Husain (4 orang ini bersama Muhammad juga disebut Ahlul Kisa atau yang berada dalam satu selimut) dan keturunan mereka.

Hal ini diperkuat pula dengan hadits-hadits seperti contoh berikut:

Aisyah menyatakan bahwa pada suatu pagi, Rasulullah keluar dengan mengenakan kain bulu hitam yang berhias. Lalu, datanglah Hasan bin Ali, maka Rasulullah menyuruhnya masuk. Kemudian datang pula Husain lalu beliau masuk bersamanya. Datang juga Fathimah, kemudian beliau menyuruhnya masuk. Kemudian datang pula Ali, maka beliau menyuruhnya masuk, lalu beliau membaca ayat 33 surah al-Ahzab, “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.[1]

Sunni dan Salafi

Makna “Ahl” dan “Ahlul Bait” dalam pengertian leksikal berarti penghuni rumah, termasuk isteri dan anak-anak. Pengertian ini dianut sebagian kalangan Sunni dan Salafi, yang menyatakan bahwa ahlul bait Muhammad mencakup pula istri-istri, mertua-mertua, juga menantu-menantu dan cucu-cucunya.

Sufi dan sebagian Sunni

Kalangan Sufi dan sebagian kaum Sunni menyatakan bahwa Ahlul-Bait adalah anggota keluarga Muhammad yang dalam hadits disebutkan haram menerima zakat, seperti keluarga Ali dan Fatimah beserta putra-putra mereka (Hasan dan Husain) serta keturunan mereka. Juga keluarga Abbas bin Abdul-Muththalib, serta keluarga-keluarga Ja’far dan Aqil yang bersama Ali merupakan putra-putra Abu Thalib.

Adapun risalah lengkap sebagaimana yang tercantum dalam Shahih Muslim adalah sebagai berikut:

Yazid bin Hayyan berkata, “Aku pergi ke Zaid bin Arqam bersama Husain bin Sabrah dan Umar bin Muslim. Setelah kami duduk, Husain berkata kepada Zaid bin Arqam, ‘Hai Zaid, kau telah memperoleh kebaikan yang banyak. Kau melihat Rasulullah, kau mendengar sabda beliau, kau bertempur menyertai beliau, dan kau telah salat dengan diimami oleh beliau. Sungguh kau telah memperoleh kebaikan yang banyak. Karena itu, sampaikan kepada kami hai Zaid, apa yang kau dengar dari Rasulullah!'”

“Kata Zaid bin Arqam, ‘Hai kemenakanku, demi Allah, aku ini sudah tua dan ajalku sudah semakin dekat. Aku sudah lupa sebagian dari apa yang aku dengar dari Rasulullah. Apa yang bisa aku sampaikan kepadamu terimalah dan apa yang tidak bisa aku sampaikan kepadamu janganlah kamu memaksaku untuk menyampaikannya.'”

“Kemudian Zaid bin Arqam mengatakan, ‘Pada suatu hari Rasulullah berdiri dengan berpidato di suatu tempat air yang disebut Khumm antara Mekkah dan Madinah. Ia memuji Allah, kemudian menyampaikan nasihat dan peringatan, lalu beliau bersabda, Ketahuilah saudara-saudara bahwa aku adalah manusia seperti kalian. Sebentar lagi utusan Tuhanku (malaikat pencabut nyawa) akan datang lalu dia diperkenankan. Aku akan meninggalkan untuk kalian dua hal yang berat, yaitu: 1) Al-Qur’an yang berisi petunjuk dan cahaya, karena itu laksanakanlah isi Al-Qur’an dan pegangilah. (Beliau mendorong dan mengimbau pengamalan Al-Qur’an). 2) Keluargaku. Aku ingatkan kalian agar berpedoman dengan hukum Allah dalam memperlakukan keluargaku (tiga kali)“.

Husain bertanya kepada Zaid bin Arqam, “Hai Zaid, siapa Ahlul Bait (keluarga) Rasulullah itu? Bukankah istri-istri beliau Ahlul Baitnya?”

Kata Zaid bin Arqam, “Istri-istri beliau adalah Ahlul Baitnya, tetapi Ahlul Bait beliau adalah orang yang diharamkan menerima zakat sampai sepeninggal beliau.”

Kata Husain, “Siapa mereka itu?”

Kata Zaid bin Arqam, “Mereka adalah keluarga Ali, keluarga Aqil, keluarga Ja’far dan keluarga Abbas.”

Kata Husain, “Apakah mereka semua diharamkan menerima zakat?”

Jawab Zaid, “Ya.”[2]

Istilah Ahlul Kisa

Kaum Sufi yang memiliki keterikatan dengan Ahlul Kisa, yaitu keluarga Ali bin Abu Talib k.w.[3] dan Fatimah az-Zahra baik secara zhahir (faktor keturunan) dan secara bathin (do’a dan amalan) sangat mendukung keutamaan Ahlul Kisa. Tetapi, Sufi berpendapat bahwa Ahlul Bait bukan hanya Ahlul Kisa sesuai dengan hadits tsaqalayn. Sufi berpendapat bahwa Ahlul Bait adalah mereka yang haram menerima zakat, yaitu keluarga Ali, Aqil dan Ja’far (yang merupakan putra-putra Abu Thalib) dan keluarga Abbas (Hadits Shahih Muslim dari Zaid bin Arqam). Dengan demikian kaum Sufi dalam hal kekhalifahan memiliki perbedaan tajam dengan kaum Syi’ah.

Hadist Shahīh Ahlul Kisa

Shahīh Muslim, vol. 7, hal. 130

Aisyah berkata, “Pada suatu pagi, Rasulullah saw keluar rumah menggunakan jubah (kisa) yang terbuat dari bulu domba. Hasan datang dan kemudian Rasulullah menempatkannya di bawah kisa tersebut. Kemudian Husain datang dan masuk ke dalamnya. Kemudian Fatimah ditempatkan oleh Rasulullah di sana. Kemudian Ali datang dan Rasulullah mengajaknya di bawah kisa dan berkata,

“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al-Ahzab [33]:33)[4]

Sunan at-Turmudzi, Kitab al-Manâqib

Ummu Salamah mengutip bahwa Rasulullah saw menutupi Hasan, Husain, Ali dan Fatimah dengan kisa-nya, dan menyatakan, “Wahai Allah! Mereka Ahlul Baitku dan yang terpilih. Hilangkan dosa dari mereka dan sucikanlah mereka!”

Ummu Salamah berkata, “Aku bertanya pada Rasulullah saw, Wahai Rasul Allah! Apakah aku termasuk di dalamnya?” Beliau menjawab, “Engkau berada dalam kebaikan (tetapi tidak termasuk golongan mereka).”

Imam Turmudzi menulis di bawah hadits ini, “Hadits ini shahīh dan bersanad baik, serta merupakan hadits terbaik yang pernah dikutip mengenai hal ini.”[5]

Interpretasi Syi’ah, Sunni dan Sufi

Syi’ah

Kaum Syi’ah, khususnya Mazhab Dua Belas Imam menafsirkan bahwa Ahlul Bait adalah “anggota rumah tangga” Muhammad dan mempercayai bahwa mereka terdiri dari: Muhammad, Ali bin Abi Thalib, Fatimah az-Zahra, Hasan bin Ali, dan Husain bin Ali.

Kaum Syi’ah percaya bahwa yang dimaksud dengan Ahlul Bait yang disucikan sesuai dengan ayat tathîr (penyucian) (QS. Al-Ahzab [33]:33), adalah mereka yang termasuk dalam Ahlul-Kisa yaitu Muhammad, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain serta 9 imam berikutnya yang merupakan keturunan dari Husain.

Sesuai dengan hadits di atas, Syi’ah berpendapat bahwa istri-istri Muhammad tidak termasuk dalam Ahlul Bait, sebagaimana pendapat Sunni yang memasukkan istri-istri Muhammad.

Sunni dan Salafi

Kaum Sunni juga mempercayai hadits sahih mengenai keistimewaan kedudukan Ahlul Bait tersebut seperti kaum Syi’ah, meskipun kaum Sunni tidak berpendapat bahwa hak kepemimpinan umat (khalifah) harus dipegang oleh keturunan Ahlul Bait. Hadits itu juga menyatakan bahwa kedua cucu Muhammad, yaitu Hasan bin Ali dan Husain bin Ali, adalah sayyid (pemuka).

Muhammad bin Abdul Wahhab menolak pengistimewaan yang berlebihan terhadap keturunan Ahlul Bait. Ini kemungkinan disebabkan karena pertentangan mereka terhadap kaum Syi’ah, meskipun kaum Sunni pada umumnya tetap memandang hormat terhadap para keturunan Ahlul Bait.

Kaum Wahhabi berpendapat bahwa istilah Ahlul Bait memang hanya mencakup keluarga Ali, akan tetapi keluarga Muhammad mencakup seluruh umat Muslim yang taat, sebab hubungan kekeluargaan tersebut adalah berdasarkan takwa pada kepercayaan Islam, dan bukan berdasarkan pada darah keturunan. Kaum Wahhabi percaya bahwa setiap orang yang taat adalah bagian dari Ahlul Bait, dan bahwa beberapa orang secara khusus disebutkan sebagai bagian daripadanya. Beberapa orang ini, adalah istri-istri Muhammad, yang menurut pendapat mereka disebutkan di dalam Al Qur’an sebagai bagian dari Ahlul Bait.

Sufi

Kaum Sufi menyepakati bahwa semua pendiri Tariqah Mu’tabaroh mestilah dari golongan Ahlul Bait, yaitu berasal dari keturunan Hasan bin Ali atau Husain bin Ali.

Para masyaikh pendiri tariqah-tariqah Islam setelah wafatnya Rasulullah yang merupakan golongan Ahlul Bait, misalnya:

  • As-Sayyid As-Syaikh Bahau’uddin Naqsyabandi (Tariqah Naqsyabandi)
  • As-Sayyid Al-Faqih Muqaddam Muhammad bin ‘Ali BaAlawi Al-Husaini (Tariqah Al-BaAlawi)
  • As-Sayyid As-Syaikh Abdul Qadir Jilani Al-Hasani (Tariqah Qadiriyah)
  • As-Sayyid As-Syaikh Ahmad bin Idris Al-Hasani (Tariqah Ahmadiyah Idrissiyah)
  • As-Sayyid As-Syaikh Abil Hasan Asy-Syazuli (Tariqah Syadziliyyah)

Silsilah ajaran mereka kebanyakannya melalui Imam Ja’far ash-Shadiq, dan semuanya mendapat sanad dari Ali bin Abi Thalib. Tariqah Naqsyabandiah adalah satu-satunya tariqah yang juga mendapat sanad dari Abu Bakar.

Kekhalifahan

Kaum Sufi berpendapat kekhalifahan ada 2 macam, yaitu :

  • Khalifah secara zhahir (Waliyyul Amri, Surat An Nisaa’ ayat 59) “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri (pemimpin) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” atau mereka yang menjadi kepala pemerintahan umat Islam; dan
  • Khalifah secara bathin (Waliyyul Mursyid, Surat Al Kahfi ayat 17) “Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka berada dalam tempat yang luas dalam gua itu. Itu adalah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpinpun yang dapat memberi petunjuk (Waliyyan Mursyida) kepadanya.” atau mereka yang menjadi pembina rohani umat Islam.

Khalifah zhahir

Menurut kalangan Sufi kekhalifahan yang zhahir (lahiriah) boleh saja dipegang oleh orang muslim yang kurang beriman atau mukmin tapi kurang bertakwa, dalam keadaan darurat atau karena sudah takdir yang tak bisa dihindari. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya perkataan ‘athii’ sebelum ‘waliyyul amri’, kata ‘athii’ atau taatlah hanya ditempelkan kepada ‘Allah’ kemudian ditempelkan kepada ‘Rasul’ sehingga lafadz lengkapnya menjadi, ”Athiiullahu wa athiiurasuul wa ulil amri minkum”. Berarti taat yang mutlak hanya kepada Allah dan Rasulnya. Taat kepada ulil amri (pemimpin) dapat dilakukan dengan syarat ia taat lebih dulu kepada Allah dan Rasulnya. Memilih seorang pemimpin atas dasar ketaatan kepada Allah adalah hal yang logis dan jauh lebih mudah dari pada memilih seorang pemimpin atas dasar ‘maksum‘ atau kesucian, karena ‘taat’ kepada Allah adalah suatu yang dapat terlihat kurang-lebihnya di dalam kehidupan seseorang.

Dengan kata lain ayat ini dalam pandangan kaum Sunni dan kaum Sufi menunjukkan tidak adanya syarat ‘maksum’ bagi Waliyyul Amri (pemimpin pemerintahan). Sangat mungkin ini adalah petunjuk Allah bagi umat Islam untuk menerima siapapun pemimpinnya di setiap zaman, selama ia taat kepada Allah dan Rasulnya, karena sesuai dengan akal sehat yang dimiliki umat manusia bahwa ‘tak ada yang mengetahui hamba Allah yang suci atau ‘maksum’, kecuali Allah sendiri.’

Khalifah bathin

Kekhalifahan bathin, karena harus mempunyai syarat kewalian dalam pengertian bathin, tak mungkin dijatuhkan kecuali kepada orang mukmin yang bertakwa dan dicintai Allah (Surat Yunus 62-64). Kekhalifahan bathin atau jabatan Waliyyul Mursyid (pemimpin rohani) adalah mereka yang mempunyai ilmu dan karakter (kurang-lebih) seperti Nabi Khidir di dalam Surat Al Kahfi. Hikmah tidak disebutkannya kata ‘Nabi Khidir’ juga boleh jadi mengisyaratkan setiap zaman akan ada manusia yang terpilih seperti itu.

Didalam sejarah tarekat kaum Sufi, para Wali Mursyid sebagian besarnya adalah keturunan Ali dari Fatimah baik melalui Hasan dan Husain. Menurut kaum Sufi memaksakan kekhalifahan zhahir hanya untuk keluarga Ali adalah suatu yang musykil/mustahil karena bila menolak 3 khalifah sebelumnya (yang telah disetujui oleh mayoritas) berarti membuat perpecahan dalam umat Islam, juga bertentangan dengan prinsip akal sehat, karena boleh jadi seorang kurang ber-taqwa tapi dalam hal pemerintahan sangat cakap. Sedangkan seorang yang ber-taqwa justru mungkin saja tidak menguasai masalah pemerintahan.

Bila menganggap Imamah adalah Khalifah Bathin mungkin saja bisa, tapi membatasi hanya 12 bertentangan dengan banyak hadits shahih tentang para Wali Allah yang tidak pernah disebut dari keluarga tertentu, apalagi dengan pembatasan jumlahnya. Idealnya memang seorang Khalifah zhahir (Waliyyul Amri) dipilih dari mereka yang juga menjabat Khalifah bathin (Waliyyul Mursyid). Tapi pertanyaannya siapakah yang mengetahui Wali-wali Allah, apalagi yang berderajat Waliyyul Mursyid, kalau bukan Allah sendiri.

Perkembangan Ahlul Bait

Setelah wafatnya Muhammad

Berkembangnya Ahlul-Bait walaupun sepanjang sejarah kekuasaan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah mengalami penindasan luar biasa, adalah berkah dari do’a Muhammad kepada mempelai pengantin Fatimah putri beliau dan Ali di dalam pernikahan yang sangat sederhana.

Doa Nabi SAW adalah,”Semoga Allah memberkahi kalian berdua, memberkahi apa yang ada pada kalian berdua, membuat kalian berbahagia dan mengeluarkan dari kalian keturunan yang banyak dan baik”

Setelah mengalami titik noda paling kelam dalam sejarah Bani Umayyah, dimana cucu Nabi SAW, al-Husain bersama keluarga dibantai di Karbala, pemerintahan berikutnya dari Bani Abbasiyah yang sebetulnya masih kerabat (diturunkan melalui Abbas bin Abdul-Muththalib) tampaknya juga tak mau kalah dalam membantai keturunan Nabi SAW yang saat itu sudah berkembang banyak baik melalui jalur Ali Zainal Abidin satu-satunya putra Husain bin Ali yang selamat dari pembantaian di Karbala, juga melalui jalur putra-putra Hasan bin Ali.

Setelah berakhirnya Bani Abbasiyah

Perkembangan di berbagai negara

Menurut berbagai penelaahan sejarah, keturunan Hasan bin Ali banyak yang selamat dengan melarikan diri ke arah Barat hingga mencapai Maroko. Sampai sekarang, keluarga kerajaan Maroko mengklaim keturunan dari Hasan melalui cucu beliau Idris bin Abdullah, karena itu keluarga mereka dinamakan dinasti Idrissiyyah.[6] Selain itu pula, ulama-ulama besar seperti Syekh Abu Hasan Syadzili Maroko (pendiri Tarekat Syadziliyah) yang nasabnya sampai kepada Hasan melalui cucunya Isa bin Muhammad.

Mesir dan Iraq adalah negeri yang ulama Ahlul Baitnya banyak dari keturunan Hasan dan Husain. Abdul Qadir Jaelani seorang ulama yang dianggap sebagai Sufi terbesar dengan julukan ‘Mawar kota Baghdad’ adalah keturunan Hasan melalui cucunya Abdullah bin Hasan al-Muthanna.

Persia hingga ke arah Timur seperti India sampai Asia Tenggara (termasuk Indonesia) didominasi para ulama dari keturunan Husain bin Ali. Bedanya, ulama Ahlul Bait di tanah Parsi banyak dari keturunan Musa al-Kadzim bin Ja’far ash-Shadiq seperti Ayatullah Ruhollah Khomeini karena itu ia juga bergelar Al-Musawi karena keturunan dari Imam Musa al-Kadzim, sedangkan di Hadramaut (Yaman), Gujarat dan Malabar (India) hingga Indonesia ulama Ahlul Baitnya banyak dari keturunan Ali Uraidhi bin Jafar ash-Shadiq terutama melalui jalur Syekh Muhammad Shahib Mirbath dan Imam Muhammad Faqih Muqaddam ulama dan sufi terbesar Hadramaut di zamannya (abad 12-13M).

Walaupun sebagian besar keturunan Ahlul Bait yang ada di Nusantara termasuk Indonesia adalah dari Keturunan Husain bin Ali namun terdapat juga yang merupakan Keturunan dari Hasan bin Ali, bahkan Keturunan Hasan bin Ali yang ada di Nusantara ini sempat memegang pemerintahan secara turun temurun di beberapa Kesultanan di Nusantara ini, yaitu Kesultanan Brunei, Kesultanan Sambas dan Kesultanan Sulu sebagaimana yang tercantum dalam Batu Tarsilah / Prasasti dan beberapa Makam dan juga Manuskrip yang tersebar di Brunei, Sambas (Kalimantan Barat) dan Sulu (Selatan Filipina), yaitu melalui jalur Sultan Syarif Ali (Sultan Brunei ke-3) yang merupakan keturunan dari Syarif Abu Nu’may Al Awwal. Sementara dari keturunan Husain bin Ali memegang kesultan di Jawa bagian barat, yang berasal dari Syarif Hidayatulah, yaitu Kesultanan Cirebon (yang kemudian pecah menjadi tiga kerajaan, Kesultanan Kasepuhan, Kanoman dan Kacirebonan) dan Kesultanan Banten. Sebagai kerurunan Syarif Hidayatulah keturunan merekapun berhak menyandang gelar Syarif/Syarifah, namun dari keturunan Syarif Hidayatullah gelar tersebut akhirnya dilokalisasi menjadi Pangeran, Tubagus/Ratu (Banten) dan Raden (Sukabumi, Bogor).

Mazhab yang dianut

Mazhab yang dianut para ulama keturunan Husain pun terbagi dua; di Iran, Iraq dan sekitarnya menganut Syi’ah, sedangkan di Yaman, India hingga Indonesia menganut Sunni yang condong kepada tasawuf). Para ulama keturunan Hasan dari Mesir hingga Maroko hampir semuanya adalah kaum Sunni yang condong kepada tasawuf.

Umar bin Khattab

Umar bin Khattab

 

‘Umar bin al-Khattab

Kekuasaan khalifah Umar pada masa puncaknya, 644

Pemimpin Orang-Orang Beriman
(
Amir al-Mu’minin)

Masa kekuasaan

23 Agustus 634 – November 7 644

Nama lengkap

‘Umar bin al-Khattab

Gelar

al-Faruq (“Pemisah antara yang benar dan batil”)
Amir al-Mo`mineen (“Pemimpin Orang-Orang Beriman”)

Lahir

c.586-590
Mekkah, Jazirah Arab

Meninggal

7 November 644
Madinah, Jazirah Arab

Dimakamkan

Jannat baqi di sebelah Nabi Muhammad, Al-Masjid al-Nabawi, Madinah

Pendahulu

Abu Bakar Ash-Shiddiq

Pengganti

Utsman bin Affan

Umar bin Khattab bin Nafiel bin Abdul Uzza atau lebih dikenal dengan Umar bin Khattab (581 – November 644) (bahasa Arab:عمر ابن الخطاب) adalah salah seorang sahabat Nabi Muhammad yang juga adalah khalifah kedua Islam (634644). Umar juga merupakan satu di antara empat orang Khalifah yang digolongkan sebagai Khalifah yang diberi petunjuk (Khulafaur Rasyidin).

Umar dilahirkan di kota Mekkah dari suku Bani Adi, salah satu rumpun suku Quraisy, suku terbesar di kota Mekkah saat itu. Ayahnya bernama Khattab bin Nufail Al Shimh Al Quraisyi dan ibunya Hantamah binti Hasyim. Umar memiliki julukan yang diberikan oleh Muhammad yaitu Al-Faruk yang berarti orang yang bisa memisahkan antara kebenaran dan kebatilan.

Keluarga Umar tergolong dalam keluarga kelas menengah, ia bisa membaca dan menulis, yang pada masa itu merupakan sesuatu yang langka. Umar juga dikenal karena fisiknya yang kuat dimana ia menjadi juara gulat di Mekkah.

Sebelum memeluk Islam, Umar adalah orang yang sangat disegani dan dihormati oleh penduduk Mekkah, sebagaimana tradisi yang dijalankan oleh kaum jahiliyah Mekkah saat itu, Umar juga mengubur putrinya hidup-hidup sebagai bagian dari pelaksanaan adat Mekkah yang masih barbar. Setelah memeluk Islam di bawah Muhammad, Umar dikabarkan menyesali perbuatannya dan menyadari kebodohannya saat itu sebagaimana diriwayatkan dalam satu hadits “Aku menangis ketika menggali kubur untuk putriku. Dia maju dan kemudian menyisir janggutku”.

Umar juga dikenal sebagai seorang peminum berat, beberapa catatan mengatakan bahwa pada masa pra-Islam, Umar suka meminum anggur. Setelah menjadi seorang Muslim, ia tidak menyentuh alkohol sama sekali, meskipun belum diturunkan larangan meminum khamar (yang memabukkan) secara tegas.

Daftar isi

Memeluk Islam

Ketika Muhammad menyebarkan Islam secara terbuka di Mekkah, Umar bereaksi sangat antipati terhadapnya, beberapa catatan mengatakan bahwa kaum Muslim saat itu mengakui bahwa Umar adalah lawan yang paling mereka perhitungkan, hal ini dikarenakan Umar yang memang sudah mempunyai reputasi yang sangat baik sebagai ahli strategi perang dan seorang prajurit yang sangat tangguh pada setiap peperangan yang ia lalui. Umar juga dicatat sebagai orang yang paling banyak dan paling sering menggunakan kekuatannya untuk menyiksa pengikut Muhammad.

Pada puncak kebenciannya terhadap ajaran Muhammad, Umar memutuskan untuk mencoba membunuh Muhammad, namun saat dalam perjalanannya ia bertemu dengan salah seorang pengikut Muhammad bernama Nu’aim bin Abdullah yang kemudian memberinya kabar bahwa saudara perempuan Umar telah memeluk Islam, ajaran yang dibawa oleh Muhammad yang ingin dibunuhnya saat itu. Karena berita itu, Umar terkejut dan pulang ke rumahnya dengan dengan maksud untuk menghukum adiknya, diriwayatkan bahwa Umar menjumpai saudarinya itu sedang membaca Al Qur’an (surat Thoha ayat 1-8), ia semakin marah akan hal tersebut dan memukul saudarinya. Ketika melihat saudarinya berdarah oleh pukulannya ia menjadi iba, dan kemudian meminta agar bacaan tersebut dapat ia lihat, diriwayatkan Umar menjadi terguncang oleh apa yang ia baca tersebut, beberapa waktu setelah kejadian itu Umar menyatakan memeluk Islam, tentu saja hal yang selama ini selalu membelanyani membuat hampir seisi Mekkah terkejut karena seseorang yang terkenal paling keras menentang dan paling kejam dalam menyiksa para pengikut Muhammad kemudian memeluk ajaran yang sangat dibencinya tersebut, akibatnya Umar dikucilkan dari pergaulan Mekkah dan ia menjadi kurang atau tidak dihormati lagi oleh para petinggi Quraisy yang selama ini diketahui selalu membelanya.

Kehidupan di Madinah

Pada tahun 622 M, Umar ikut bersama Muhammad dan pemeluk Islam lain berhijrah (migrasi) (ke Yatsrib (sekarang Madinah) . Ia juga terlibat pada perang Badar, Uhud, Khaybar serta penyerangan ke Syria. Pada tahun 625, putrinya (Hafsah) menikah dengan Nabi Muhammad. Ia dianggap sebagai seorang yang paling disegani oleh kaum Muslim pada masa itu karena selain reputasinya yang memang terkenal sejak masa pra-Islam, juga karena ia dikenal sebagai orang terdepan yang selalu membela Muhammad dan ajaran Islam pada setiap kesempatan yang ada bahkan ia tanpa ragu menentang kawan-kawan lamanya yang dulu bersama mereka ia ikut menyiksa Muhammad dan para pengikutnya.

Kematian Muhammad

Pada saat kabar kematian Muhammad pada 8 Juni 632 M (12 Rabiul Awal, 10 Hijriah) di Madinah sampai kepada umat Muslim secara keseluruhan, Umar dikabarkan sebagai salah seorang yang paling terguncang atas peristiwa itu, ia menghambat siapapun memandikan atau menyiapkan jasadnya untuk pemakaman. Akibat syok yang ia terima, Umar berkeras bahwa Muhammad tidaklah wafat melainkan hanya sedang tidak sadarkan diri, dan akan kembali sewaktu-waktu. [1]

Abu Bakar yang mendengar kabar bergegas kembali dari Madinah, Ia menjumpai Umar sedang menahan Muslim yang lain dan lantas mengatakan (|cquote! :”Saudara-saudara! Barangsiapa mau menyembah Muhammad, Muhammad sudah meninggal dunia. Tetapi barangsiapa mau menyembah Allah, Allah hidup selalu tak pernah mati.”! |)

Abu Bakar mengingatkan kepada para pemeluk Islam yang sedang terguncang, termasuk Umar saat itu, bahwa Muhammad, seperti halnya mereka, adalah seorang manusia biasa, Abu Bakar kemudian membacakan ayat dari Al Qur’an [2] yan mencoba untuk mengingatkan mereka kembali kepada ajaran yang diajarkan Muhammad yaitu kefanaan makhluk yang diciptakan. Setelah peristiwa itu Umar menyerah dan membiarkan persiapan penguburan dilaksanakan.

Masa kekhalifahan Abu Bakar

Pada masa Abu Bakar menjabat sebagai khalifah, Umar merupakan salah satu penasehat kepalanya. Ssetelah meninggalnya Abu Bakar pada tahun 634, Umar ditunjuk untuk menggantikan Abu Bakar sebagai khalifah kedua dalam sejarah Islam.

Menjadi khalifah

Selama pemerintahan Umar, kekuasaan Islam tumbuh dengan sangat pesat. Islam mengambil alih Mesopotamia dan sebagian Persia dari tangan dinasti Sassanid dari Persia (yang mengakhiri masa kekaisaran sassanid) serta mengambil alih Mesir, Palestina, Syria, Afrika Utara dan Armenia dari kekaisaran Romawi (Byzantium). Saat itu ada dua negara adi daya yaitu Persia dan Romawi. Namun keduanya telah ditaklukkan oleh kekhalifahan Islam dibawah pimpinan Umar.

Sejarah mencatat banyak pertempuran besar yang menjadi awal penaklukan ini. Pada pertempuran Yarmuk, yang terjadi di dekat Damaskus pada tahun 636, 20 ribu pasukan Islam mengalahkan pasukan Romawi yang mencapai 70 ribu dan mengakhiri kekuasaan Romawi di Asia Kecil bagian selatan. Pasukan Islam lainnya dalam jumlah kecil mendapatkan kemenangan atas pasukan Persia dalam jumlah yang lebih besar pada pertempuran Qadisiyyah (th 636), di dekat sungai Eufrat. Pada pertempuran itu, jenderal pasukan Islam yakni Sa`ad bin Abi Waqqas mengalahkan pasukan Sassanid dan berhasil membunuh jenderal Persia yang terkenal, Rustam Farrukhzad.

Pada tahun 637, setelah pengepungan yang lama terhadap Yerusalem, pasukan Islam akhirnya mengambil alih kota tersebut. Umar diberikan kunci untuk memasuki kota oleh pendeta Sophronius dan diundang untuk salat di dalam gereja (Church of the Holy Sepulchre). Umar memilih untuk salat ditempat lain agar tidak membahayakan gereja tersebut. 55 tahun kemudian, Masjid Umar didirikan ditempat ia salat.

Umar melakukan banyak reformasi secara administratif dan mengontrol dari dekat kebijakan publik, termasuk membangun sistem administrasi untuk daerah yang baru ditaklukkan. Ia juga memerintahkan diselenggarakannya sensus di seluruh wilayah kekuasaan Islam. Tahun 638, ia memerintahkan untuk memperluas dan merenovasi Masjidil Haram di Mekkah dan Masjid Nabawi di Medinah. Ia juga memulai proses kodifikasi hukum Islam.

Umar dikenal dari gaya hidupnya yang sederhana, alih-alih mengadopsi gaya hidup dan penampilan para penguasa di zaman itu, ia tetap hidup sangat sederhana.

Pada sekitar tahun ke 17 Hijriah, tahun ke-empat kekhalifahannya, Umar mengeluarkan keputusan bahwa penanggalan Islam hendaknya mulai dihitung saat peristiwa hijrah.

== Kematian ==k Umar bin Khattab dibunuh oleh Abu Lukluk (Fairuz), seorang budak yang fanatik pada saat ia akan memimpin salat Subuh. Fairuz adalah orang Persia yang masuk Islam setelah Persia ditaklukkan Umar. Pembunuhan ini konon dilatarbelakangi dendam pribadi Abu Lukluk (Fairuz) terhadap Umar. Fairuz merasa sakit hati atas kekalahan Persia, yang saat itu merupakan negara adidaya, oleh Umar. Peristiwa ini terjadi pada hari Rabu, 25 Dzulhijjah 23 H/644 M. Setelah kematiannya jabatan khalifah dipegang oleh Usman bin Affan.

Semasa Umar masih hidup Umar meninggalkan wasiat yaitu[rujukan?]:

  1. Jika engkau menemukan cela pada seseorang dan engkau hendak mencacinya, maka cacilah dirimu. Karena celamu lebih banyak darinya.
  2. Bila engkau hendak memusuhi seseorang, maka musuhilah perutmu dahulu. Karena tidak ada musuh yang lebih berbahaya terhadapmu selain perut.
  3. Bila engkau hendak memuji seseorang, pujilah Allah. Karena tiada seorang manusia pun lebih banyak dalam memberi kepadamu dan lebih santun lembut kepadamu selain Allah.
  4. Jika engkau ingin meninggalkan sesuatu, maka tinggalkanlah kesenangan dunia. Sebab apabila engkau meninggalkannya, berarti engkau terpuji.
  5. Bila engkau bersiap-siap untuk sesuatu, maka bersiplah untuk mati. Karena jika engkau tidak bersiap untuk mati, engkau akan menderita, rugi ,dan penuh penyesalan.
  6. Bila engkau ingin menuntut sesuatu, maka tuntutlah akhirat. Karena engkau tidak akan memperolehnya kecuali dengan mencarinya.

Biografi Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu

Biografi Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu’anhu

Penulis: Syaikh ‘Abdurrahman bin ‘Abdillah As Suhaim hafizhahullah

Nama

Nama beliau -menurut pendapat yang shahih- adalah Abdullah bin ‘Utsman bin ‘Amir bin ‘Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taiym bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay Al Qurasyi At Taimi.

Kun-yah

Beliau memiliki kun-yah: Abu Bakar

Laqb (Julukan)

Beliau dijuluki dengan ‘Atiq (عتيق) dan Ash Shiddiq (الصدِّيق).

Sebagian ulama berpendapat bahwa alasan beliau dijuluki ‘Atiq karena beliau tampan. Sebagian mengatakan karena beliau berwajah cerah. Pendapat lain mengatakan karena beliau selalu terdepan dalam kebaikan. Sebagian juga mengatakan bahwa ibu beliau awalnya tidak kunjung hamil, ketika ia hamil maka ibunya berdoa,

اللهم إن هذا عتيقك من الموت ، فهبه لي

Ya Allah, jika anak ini engkau bebaskan dari maut, maka hadiahkanlah kepadaku

Dan ada beberapa pendapat lain.

Sedangkan julukan Ash Shiddiq didapatkan karena beliau membenarkan kabar dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dengan kepercayaan yang sangat tinggi. Sebagaimana ketika pagi hari setelah malam Isra Mi’raj, orang-orang kafir berkata kepadanya: ‘Teman kamu itu (Muhammad) mengaku-ngaku telah pergi ke Baitul Maqdis dalam semalam’. Beliau menjawab:

 إن كان قال فقد صدق

Jika ia berkata demikian, maka itu benar

Allah Ta’ala pun menyebut beliau sebagai Ash Shiddiq:

وَالَّذِي جَاء بِالصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهِ أُوْلَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ

Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan yang membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa” (QS. Az Zumar: 33)

Tafsiran para ulama tentang ayat ini, yang dimaksud ‘orang yang datang membawa kebenaran’ (جَاء بِالصِّدْقِ) adalah Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam dan yang dimaksud ‘orang yang membenarkannya’ (صَدَّقَ بِهِ) adalah Abu Bakar Radhiallahu’anhu.

Beliau juga dijuluki Ash Shiddiq karena beliau adalah lelaki pertama yang membenarkan dan beriman kepada Nabi Muhammad  Shallallahu’alaihi Wasallam. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam telah menamai beliau dengan Ash Shiddiq sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Bukhari:

عن أنس بن مالك رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم صعد أُحداً وأبو بكر وعمر وعثمان ، فرجف بهم فقال : اثبت أُحد ، فإنما عليك نبي وصديق وشهيدان

“Dari Anas bin Malik Radhiallahu’anhu bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menaiki gunung Uhud bersama Abu Bakar, Umar dan ‘Utsman. Gunung Uhud pun berguncang. Nabi lalu bersabda: ‘Diamlah Uhud, di atasmu ada Nabi, Ash Shiddiq (yaitu Abu Bakr) dan dua orang Syuhada’ (‘Umar dan ‘Utsman)

Kelahiran

Beliau dilahirkan 2 tahun 6 bulan setelah tahun gajah.

Ciri Fisik

Beliau berkulit putih, bertubuh kurus, berambut lebat, tampak kurus wajahnya, dahinya muncul, dan ia sering memakai hinaa dan katm.

Jasa-jasa

  • Jasanya yang paling besar adalah masuknya ia ke dalam Islam paling pertama.
  • Hijrahnya beliau bersama Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
  • Ketegaran beliau ketika hari wafatnya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
  • Sebelum terjadi hijrah, beliau telah membebaskan 70 orang yang disiksa orang kafir karena alasan bertauhid kepada Allah. Di antara mereka adalah Bilal bin Rabbaah, ‘Amir bin Fahirah, Zunairah, Al Hindiyyah dan anaknya, budaknya Bani Mu’ammal, Ummu ‘Ubais
  • Salah satu jasanya yang terbesar ialah ketika menjadi khalifah beliau memerangi orang-orang murtad

Abu Bakar adalah lelaki yang lemah lembut, namun dalam hal memerangi orang yang murtad, beliau memiliki pendirian yang kokoh. Bahkan lebih tegas dan keras daripada Umar bin Khattab yang terkenal akan keras dan tegasnya beliau dalam pembelaan terhadap Allah. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits Abu Hurairah Radhiallahu’anhu:

لما توفى النبي صلى الله عليه وسلم واستُخلف أبو بكر وكفر من كفر من العرب قال عمر : يا أبا بكر كيف تقاتل الناس وقد قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : أمِرت أن أقاتل الناس حتى يقولوا لا إله إلا الله ، فمن قال لا إله إلا الله عصم مني ماله ونفسه إلا بحقه وحسابه على الله ؟ قال أبو بكر : والله لأقاتلن من فرق بين الصلاة والزكاة ، فإن الزكاة حق المال ، والله لو منعوني عناقا كانوا يؤدونها إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم لقاتلتهم على منعها . قال عمر : فو الله ما هو إلا أن رأيت أن قد شرح الله صدر أبي بكر للقتال فعرفت أنه الحق

Ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam wafat, dan Abu Bakar menggantikannya, banyak orang yang kafir dari bangsa Arab. Umar berkata: ‘Wahai Abu Bakar, bisa-bisanya engkau memerangi manusia padahal Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, aku diperintah untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan Laa ilaaha illallah, barangsiapa yang mengucapkannya telah haram darah dan jiwanya, kecuali dengan hak (jalan yang benar). Adapun hisabnya diserahkan kepada Allah?’ Abu Bakar berkata: ‘Demi Allah akan kuperangi orang yang membedakan antara shalat dengan zakat. Karena zakat adalah hak Allah atas harta. Demi Allah jika ada orang yang enggan membayar zakat di masaku, padahal mereka menunaikannya di masa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, akan ku perangi dia’. Umar berkata: ‘Demi Allah, setelah itu tidaklah aku melihat kecuali Allah telah melapangkan dadanya untuk memerangi orang-orang tersebut, dan aku yakin ia di atas kebenaran‘”

Begitu tegas dan kerasnya sikap beliau sampai-sampai para ulama berkata:

نصر الله الإسلام بأبي بكر يوم الردّة ، وبأحمد يوم الفتنة

“Allah menolong Islam melalui Abu Bakar di hari ketika banyak orang murtad, dan melalui Ahmad (bin Hambal) di hari ketika terjadi fitnah (khalqul Qur’an)”

Abu Bakar pun memerangi orang-orang yang murtad dan orang-orang yang enggan membayar zakat ketika itu

  • Musailamah Al Kadzab dibunuh di masa pemerintahan beliau
  • Beliau mengerahkan pasukan untuk menaklukan Syam, sebagaimana keinginan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Dan akhirnya Syam pun di taklukan, demikian juga Iraq.
  • Di masa pemerintahan beliau, Al Qur’an dikumpulkan. Beliau memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkannya.
  • Abu Bakar adalah orang yang bijaksana. Ketika ia tidak ridha dengan dilepaskannya Khalid bin Walid, ia berkata:

والله لا أشيم سيفا سله الله على عدوه حتى يكون الله هو يشيمه

Demi Allah, aku tidak akan menghunus pedang yang Allah tujukan kepada musuhnya sampai Allah yang menghunusnya” (HR. Ahmad dan lainnya)

Ketika masa pemerintahan beliau, terjadi peperangan. Beliau pun bertekad untuk pergi sendiri memimpin perang, namun Ali bin Abi Thalib memegang tali kekangnya dan berkata: ‘Mau kemana engkau wahai khalifah? Akan kukatakan kepadamu perkataan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika perang Uhud:

شِـمْ سيفك ولا تفجعنا بنفسك . وارجع إلى المدينة ، فو الله لئن فُجعنا بك لا يكون للإسلام نظام أبدا

Simpanlah pedangmu dan janganlah bersedih atas keadaan kami. Kembalilah ke Madinah. Demi Allah, jika keadaan kami membuatmu sedih Islam tidak akan tegak selamanya‘. Lalu Abu Bakar Radhiallahu’anhu pun kembali dan mengutus pasukan.

  • Beliau juga sangat mengetahui nasab-nasab bangsa arab

Keutamaan

Tidak ada lelaki yang memiliki keutaman sebanyak keutamaan Abu Bakar Radhiallahu’anhu

1. Abu Bakar Ash Shiddiq adalah manusia terbaik setelah Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam dari golongan umat beliau

Ibnu ‘Umar Radhiallahu’anhu berkata:

كنا نخيّر بين الناس في زمن النبي صلى الله عليه وسلم ، فنخيّر أبا بكر ، ثم عمر بن الخطاب ، ثم عثمان بن عفان رضي الله عنهم

Kami pernah memilih orang terbaik di masa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Kami pun memilih Abu Bakar, setelah itu Umar bin Khattab, lalu ‘Utsman bin Affan Radhiallahu’anhu” (HR. Bukhari)

Dari Abu Darda Radhiallahu’anhu, ia berkata:

كنت جالسا عند النبي صلى الله عليه وسلم إذ أقبل أبو بكر آخذا بطرف ثوبه حتى أبدى عن ركبته فقال النبي صلى الله عليه وسلم : أما صاحبكم فقد غامر . وقال : إني كان بيني وبين ابن الخطاب شيء ، فأسرعت إليه ثم ندمت فسألته أن يغفر لي فأبى عليّ ، فأقبلت إليك فقال : يغفر الله لك يا أبا بكر – ثلاثا – ثم إن عمر ندم فأتى منزل أبي بكر فسأل : أثَـمّ أبو بكر ؟ فقالوا : لا ، فأتى إلى النبي فجعل وجه النبي صلى الله عليه وسلم يتمعّر ، حتى أشفق أبو بكر فجثا على ركبتيه فقال : يا رسول الله والله أنا كنت أظلم – مرتين – فقال النبي صلى الله عليه وسلم : إن الله بعثني إليكم فقلتم : كذبت ، وقال أبو بكر : صَدَق ، وواساني بنفسه وماله ، فهل أنتم تاركو لي صاحبي – مرتين – فما أوذي بعدها

“Aku pernah duduk di sebelah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Tiba-tiba datanglah Abu Bakar menghadap Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sambil menjinjing ujung pakaiannya hingga terlihat lututnya. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam berkata: ‘Sesungguhnya teman kalian ini sedang gundah‘. Lalu Abu Bakar berkata, “Wahai Rasulullah, antara aku dan Ibnul Khattab terjadi perselisihan, aku pun segera mendatanginya untuk meminta maaf, kumohon padanya agar memaafkan aku namun dia enggan memaafkanku, karena itu aku datang menghadapmu sekarang’. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam lalu berkata: ‘“Semoga Allah mengampunimu wahai Abu Bakar‘. Sebanyak tiga kali, tak lama setelah itu Umar menyesal atas perbuatannya, dan mendatangi rumah Abu Bakar sambil bertanya, “Apakah di dalam ada Abu Bakar?” Namun keluarganya menjawab, tidak. Umar segera mendatangi Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Sementara wajah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam terlihat memerah karena marah, hingga Abu Bakar merasa kasihan kepada Umar dan memohon sambil duduk di atas kedua lututnya, “Wahai Rasulullah Demi Allah sebenarnya akulah yang bersalah”, sebanyak dua kali. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya ketika aku diutus Allah kepada kalian, ketika itu kalian mengatakan, ”Engkau pendusta wahai Muhammad”, Sementara Abu Bakar berkata, ”Engkau benar wahai Muhammad”. Setelah itu dia membelaku dengan seluruh jiwa dan hartanya. Lalu apakah kalian tidak jera menyakiti sahabatku?‘ sebanyak dua kali. Setelah itu Abu Bakar tidak pernah disakiti” (HR. Bukhari)

Beliau juga orang yang paling pertama beriman kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, menemani Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan membenarkan perkataannya. Hal ini terus berlanjut selama Rasulullah tinggal di Mekkah, walaupun banyak gangguan yang datang. Abu Bakar juga menemani Rasulullah ketika hijrah.

2. Abu Bakar Ash Shiddiq adalah orang yang menemani Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam di gua ketika dikejar kaum Quraisy

Allah Ta’ala berfirman,

ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لاَ تَحْزَنْ إِنَّ اللّهَ مَعَنَا

Salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: “Janganlah kamu bersedih, sesungguhnya Allah beserta kita”” (QS. At Taubah: 40)

As Suhaili berkata: “Perhatikanlah baik-baik di sini Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam  berkata ‘janganlah kamu bersedih’ namun tidak berkata ‘janganlah kamu takut’ karena ketika itu rasa sedih Abu Bakar terhadap keselamatan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sangat mendalam sampai-sampai rasa takutnya terkalahkan”.

Dalam Shahih Bukhari dan Muslim, dari hadits Anas bin Malik Radhiallahu’anhu, Abu Bakar berkata kepadanya:

نظرت إلى أقدام المشركين على رؤوسنا ونحن في الغار فقلت : يا رسول الله لو أن أحدهم نظر إلى قدميه أبصرنا تحت قدميه . فقال : يا أبا بكر ما ظنك باثنين الله ثالثهما

Ketika berada di dalam gua, aku melihat kaki orang-orang musyrik berada dekat dengan kepala kami. Aku pun berkata kepada Rasulullah: ‘Wahai Rasulullah, kalau di antara mereka ada yang melihat kakinya, mereka akan melihat kita di bawah kaki mereka’. Rasulullah berkata: ‘Wahai Abu Bakar, engkau tidak tahu bahwa bersama kita berdua yang ketiga adalah Allah’

Ketika hendak memasuki gua pun, Abu Bakar masuk terlebih dahulu untuk memastikan tidak ada hal yang dapat membahayakan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Juga ketika dalam perjalanan hijrah, Abu Bakar terkadang berjalan di depan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, terkadang di belakangnya, terkadang di kanannya, terkadang di kirinya.

Oleh karena itu ketika masa pemerintahan Umar bin Khattab Radhiallahu’anhu ada sebagian orang yang menganggap Umar lebih utama dari Abu Bakar, maka Umar Radhiallahu’anhu pun berkata:

والله لليلة من أبي بكر خير من آل عمر ، وليوم من أبي بكر خير من آل عمر ، لقد خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم لينطلق إلى الغار ومعه أبو بكر ، فجعل يمشي ساعة بين يديه وساعة خلفه ، حتى فطن له رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال : يا أبا بكر مالك تمشي ساعة بين يدي وساعة خلفي ؟ فقال : يا رسول الله أذكر الطلب فأمشي خلفك ، ثم أذكر الرصد فأمشي بين يديك . فقال :يا أبا بكر لو كان شيء أحببت أن يكون بك دوني ؟ قال : نعم والذي بعثك بالحق ما كانت لتكون من مُلمّة إلا أن تكون بي دونك ، فلما انتهيا إلى الغار قال أبو بكر : مكانك يا رسول الله حتى استبرئ الجحرة ، فدخل واستبرأ ، قم قال : انزل يا رسول الله ، فنزل . فقال عمر : والذي نفسي بيده لتلك الليلة خير من آل عمر

Demi Allah,  satu malamnya Abu Bakar lebih baik dari satu malamnya keluarga Umar, satu harinya Abu Bakar masih lebih baik dari seharinya keluarga Umar. Abu Bakar bersama Rasulullah pergi ke dalam gua. Ketika berjalan, dia terkadang berada di depan Rasulullah dan terkadang di belakangnya. Sampai-sampai Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam heran dan berkata: ‘Wahai Abu Bakar mengapa engkau berjalan terkadang di depan dan terkadang di belakang?’. Abu Bakar berkata: ‘Ya Rasulullah, ketika saya sadar kita sedang dikejar, saya berjalan di belakang. Ketika saya sadar bahwa kita sedang mengintai, maka saya berjalan di depan’. Rasulullah lalu berkata: ‘Wahai Abu Bakar, kalau ada sesuatu yang aku suka engkau saja yang melakukannya tanpa aku?’ Abu Bakar berkata: ‘Demi Allah, tidak ada yang lebih tepat melainkan hal itu aku saja yang melakukan tanpa dirimu’. Ketika mereka berdua sampai di gua, Abu Bakar berkata: ‘Ya Rasulullah aku akan berada di tempatmu sampai memasuki gua. Kemudian mereka masuk, Abu Bakar berkata: Turunlah wahai Rasulullah. Kemudian mereka turun. Umar berkata: ‘Demi Allah, satu malamnya Abu Bakar lebih baik dari satu malamnya keluarga Umar’‘” (HR. Al Hakim, Al Baihaqi dalam Dalail An Nubuwwah)

3. Ketika kaum muslimin hendak berhijrah, Abu Bakar Ash Shiddiq menyumbangkan seluruh hartanya.  (Dalilnya disebutkan pada poin 8, pent.)

4. Abu Bakar Ash Shiddiq adalah khalifah pertama

Dan kita diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam untuk meneladani khulafa ar rasyidin, sebagaimana sabda beliau:

عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين من بعدي عضوا عليها بالنواجذ

Hendaknya kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah khulafa ar rasyidin setelahku. Gigitlah dengan gigi geraham kalian” (HR. Ahmad, At Tirmidzi dan lainnya. Hadits ini shahih dengan seluruh jalannya)

5. Abu Bakar Ash Shiddiq dipilih sebagai khalifah berdasarkan nash

Ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sakit keras, beliau memerintahkan Abu Bakar untuk menjadi imam shalat berjama’ah. Dalam Shahihain, dari ‘Aisyah Radhiallahu’anha ia berkata:

لما مَرِضَ النبيّ صلى الله عليه وسلم مرَضَهُ الذي ماتَ فيه أَتاهُ بلالٌ يُؤْذِنهُ بالصلاةِ فقال : مُروا أَبا بكرٍ فلْيُصَلّ . قلتُ : إنّ أبا بكرٍ رجلٌ أَسِيفٌ [ وفي رواية : رجل رقيق ] إن يَقُمْ مَقامَكَ يبكي فلا يقدِرُ عَلَى القِراءَةِ . قال : مُروا أَبا بكرٍ فلْيُصلّ . فقلتُ مثلَهُ : فقال في الثالثةِ – أَوِ الرابعةِ – : إِنّكنّ صَواحبُ يوسفَ ! مُروا أَبا بكرٍ فلْيُصلّ ، فصلّى

Ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sakit menjelang wafat, Bilal datang meminta idzin untuk memulai shalat. Rasulullah bersabda: ‘Perintahkan Abu Bakar untuk menjadi imam dan shalatlah’. ‘Aisyah berkata: ‘Abu Bakar itu orang yang terlalu lembut, kalau ia mengimami shalat, ia mudah menangis. Jika ia menggantikan posisimu, ia akan mudah menangis sehingga sulit menyelesaikan bacaan Qur’an. Nabi tetap berkata: ‘Perintahkan Abu Bakar untuk menjadi imam dan shalatlah’. ‘Aisyah lalu berkata hal yang sama, Rasulullah pun mengatakan hal yang sama lagi, sampai ketiga atau keempat kalinya Rasulullah berkata: ‘Sesungguhnya kalian itu orang-orang yang lembut, maka perintahkan Abu Bakar untuk menjadi imam dan shalatlah’

Oleh karena itu Umar bin Khattab Radhiallahu’anhu berkata:

أفلا نرضى لدنيانا من رضيه رسول الله صلى الله عليه وسلم لديننا

Apakah kalian tidak ridha kepada Abu Bakar dalam masalah dunia, padahal Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah ridha kepadanya dalam masalah agama?

Juga diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiallahu’anha, ia berkata:

قال لي رسول الله صلى الله عليه وسلم في مرضه : ادعي لي أبا بكر وأخاك حتى اكتب كتابا ، فإني أخاف أن يتمنى متمنٍّ ويقول قائل : أنا أولى ، ويأبى الله والمؤمنون إلا أبا بكر وجاءت امرأة إلى النبي صلى الله عليه وسلم فكلمته في شيء فأمرها بأمر ، فقالت : أرأيت يا رسول الله إن لم أجدك ؟ قال : إن لم تجديني فأتي أبا بكر

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berkata kepadaku ketika beliau sakit, panggilah Abu Bakar dan saudaramu agar aku dapat menulis surat. Karena aku khawatir akan ada orang yang berkeinginan lain (dalam masalah khilafah) sehingga ia berkata: ‘Aku lebih berhak’. Padahal Allah dan kaum mu’minin menginginkan Abu Bakar (yang menjadi khalifah). Kemudian datang seorang perempuan kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengatakan sesuatu, lalu Nabi memerintahkan sesuatu kepadanya. Apa pendapatmu wahai Rasulullah kalau aku tidak menemuimu? Nabi menjawab: ‘Kalau kau tidak menemuiku, Abu Bakar akan datang’” (HR. Bukhari-Muslim)

6. Umat Muhammad diperintahkan untuk meneladani Abu Bakar Ash Shiddiq

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,

اقتدوا باللذين من بعدي أبي بكر وعمر

Ikutilah jalan orang-orang sepeninggalku yaitu Abu Bakar dan Umar” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Maajah, hadits ini shahih)

7. Abu Bakar Ash Shiddiq adalah salah seorang mufti di masa Nabi Muhammad

Oleh karena itu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menugasi beliau sebagai Amirul Hajj pada haji sebelum haji Wada’. Diriwayatkan Al Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu:

بعثني أبو بكر الصديق في الحجة التي أمره عليها رسول الله صلى الله عليه وسلم قبل حجة الوداع في رهط يؤذنون في الناس يوم النحر : لا يحج بعد العام مشرك ، ولا يطوف بالبيت عريان

Abu Bakar Ash Shiddiq mengutusku untuk dalam sebuah ibadah haji yang terjadi sebelum haji Wada’, dimana beliau ditugaskan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam untuk menjadi Amirul Hajj. Ia mengutusku untuk mengumumkan kepada sekelompok orang di hari raya idul adha bahwa tidak boleh berhaji setelah tahunnya orang musyrik dan tidak boleh ber-thawaf di baitul ‘Uryan”

Abu Bakar juga sebagai pemegang bendera Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ketika perang Tabuk.

8. Abu Bakar Ash Shiddiq menginfaqkan seluruh hartanya ketika Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menganjurkan sedekah

Umar bin Khattab Radhiallahu’anhu berkata:

أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم أن نتصدق ، فوافق ذلك مالاً فقلت : اليوم أسبق أبا بكر إن سبقته يوما . قال : فجئت بنصف مالي ، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ما أبقيت لأهلك ؟ قلت : مثله ، وأتى أبو بكر بكل ما عنده فقال : يا أبا بكر ما أبقيت لأهلك ؟ فقال : أبقيت لهم الله ورسوله ! قال عمر قلت : والله لا أسبقه إلى شيء أبدا

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan kami untuk bersedekah, maka kami pun melaksanakannya. Umar berkata: ‘Semoga hari ini aku bisa mengalahkan Abu Bakar’. Aku pun membawa setengah dari seluruh hartaku. Sampai Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bertanya: ‘Wahai Umar, apa yang kau sisakan untuk keluargamu?’. Kujawab: ‘Semisal dengan ini’. Lalu Abu Bakar datang membawa seluruh hartanya. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam lalu bertanya: ‘Wahai Abu Bakar, apa yang kau sisakan untuk keluargamu?’. Abu Bakar menjawab: ‘Ku tinggalkan bagi mereka, Allah dan Rasul-Nya’. Umar berkata: ‘Demi Allah, aku tidak akan bisa mengalahkan Abu Bakar selamanya’” (HR. Tirmidzi)

9. Abu Bakar Ash Shiddiq adalah orang yang paling dicintai Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam

‘Amr bin Al Ash Radhiallahu’anhu bertanya kepada Nabi Shallallahu’alahi Wasallam:

أي الناس أحب إليك ؟ قال : عائشة . قال : قلت : من الرجال ؟ قال : أبوها

Siapa orang yang kau cintai?. Rasulullah menjawab: ‘Aisyah’. Aku bertanya lagi: ‘Kalau laki-laki?’. Beliau menjawab: ‘Ayahnya Aisyah’ (yaitu Abu Bakar)” (HR. Muslim)

10. Abu Bakar Ash Shiddiq adalah khalil bagi Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam

Imam Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits dari Abu Sa’id Al Khudri Radhiallahu’anhu, ia berkata:

خطب رسول الله صلى الله عليه وسلم الناس وقال : إن الله خير عبدا بين الدنيا وبين ما عنده فاختار ذلك العبد ما عند الله . قال : فبكى أبو بكر ، فعجبنا لبكائه أن يخبر رسول الله صلى الله عليه وسلم عن عبد خير ، فكان رسول الله صلى الله عليه وسلم هو المخير ، وكان أبو بكر أعلمنا . فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إن مِن أمَنّ الناس عليّ في صحبته وماله أبا بكر ، ولو كنت متخذاً خليلاً غير ربي لاتخذت أبا بكر ، ولكن أخوة الإسلام ومودته ، لا يبقين في المسجد باب إلا سُـدّ إلا باب أبي بكر

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berkhutbah kepada manusia, beliau berkata: ‘Sesungguhnya Allah Ta’ala memilih hamba di antara dunia dan apa yang ada di dalamnya. Namun hamba tersebut hanya dapat memilih apa yang Allah tentukan’. Lalu Abu Bakar menangis. Kami pun heran dengan tangisan beliau itu, hanya karena Rasulullah mengabarkan tentang hamba pilihan. Padahal Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam lah orangnya, dan Abu Bakar lebih paham dari kami. Lalu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Sesungguhnya orang yang sangat besar jasanya padaku dalam kedekatan dan kerelaan mengeluarkan harta, ialah Abu Bakar. Andai saja aku diperbolehkan mengangkat seorang kekasihku selain Rabbku pastilah aku akan memilih Abu Bakar, namun cukuplah persaudaraan se-Islam dan kecintaan karenanya. Maka jangan ditinggalkan pintu kecil di masjid selain pintu Abu Bakar saja’

11. Allah Ta’ala mensucikan Abu Bakar Ash Shiddiq

Allah Ta’ala berfirman:

وَسَيُجَنَّبُهَا الأَتْقَى * الَّذِي يُؤْتِي مَالَهُ يَتَزَكَّى * وَمَا لأَحَدٍ عِندَهُ مِن نِّعْمَةٍ تُجْزَى * إِلا ابْتِغَاء وَجْهِ رَبِّهِ الأَعْلَى * وَلَسَوْفَ يَرْضَى

Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu, Yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya, Padahal tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, Tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridaan Tuhannya Yang Maha Tinggi. Dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan” (QS. Al Lail: 17-21)

Ayat ini turun berkenaan dengan Abu Bakar Ash Shiddiq. Selain itu beliau juga termasuk as sabiquunal awwalun, dan Allah Ta’ala berfirman:

وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.  Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At Taubah: 100)

12. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memberi tazkiyah kepada Abu Bakar

Ketika Abu Bakar bertanya kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

من جرّ ثوبه خيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة . قال أبو بكر : إن أحد شقي ثوبي يسترخي إلا أن أتعاهد ذلك منه فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إنك لست تصنع ذلك خيلاء

Barangsiapa yang membiarkan kainnya terjulur karena sombong, tidak akan dilihat oleh Allah pada hari kiamat. Abu Bakar berkata: ‘Sesungguhnya salah satu sisi sarungku melorot kecuali jika aku ikat dengan baik. Rasulullah lalu berkata: ‘Engkau tidak melakukannya karena sombong”” (HR. Bukhari dalam Fadhail Abu Bakar Radhiallahu’anhu)

13. Abu Bakar Ash Shiddiq didoakan oleh Nabi untuk memasuki semua pintu surga

من أنفق زوجين من شيء من الأشياء في سبيل الله دُعي من أبواب الجنة : يا عبد الله هذا خير ؛ فمن كان من أهل الصلاة دعي من باب الصلاة ، ومن كان من أهل الجهاد دُعي من باب الجهاد ، ومن كان من أهل الصدقة دُعي من باب الصدقة ، ومن كان من أهل الصيام دُعي من باب الصيام وباب الريان . فقال أبو بكر : ما على هذا الذي يدعى من تلك الأبواب من ضرورة ، فهل يُدعى منها كلها أحد يا رسول الله ؟ قال : نعم ، وأرجو أن تكون منهم يا أبا بكر

Orang memberikan menyumbangkan dua harta di jalan Allah, maka ia akan dipanggil oleh salah satu dari pintu surga: “Wahai hamba Allah, kemarilah untuk menuju kenikmatan”. Jika ia berasal dari golongan orang-orang yang suka mendirikan shalat, ia akan dipanggil dari pintu shalat, yang berasal dari kalangan mujahid, maka akan dipanggil dari pintu jihad, jika ia berasal dari golongan yang gemar bersedekah akan dipanggil dari pintu sedekah” (HR. Al Bukhari – Muslim)

14. Abu Bakar Ash Shiddiq melakukan banyak perbuatan agung dalam sehari

Imam Muslim meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

: من أصبح منكم اليوم صائما ؟ قال أبو بكر رضي الله عنه : أنا . قال : فمن تبع منكم اليوم جنازة ؟ قال أبو بكر رضي الله عنه : أنا . قال : فمن أطعم منكم اليوم مسكينا ؟ قال أبو بكر رضي الله عنه : أنا . قال : فمن عاد منكم اليوم مريضا ؟ قال أبو بكر رضي الله عنه : أنا . فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ما اجتمعن في امرىء إلا دخل الجنة

“Siapa yang hari ini berpuasa? Abu Bakar menjawab: ‘Saya’”

“Siapa yang hari ini ikut mengantar jenazah? Abu Bakar menjawab: ‘Saya’”

“Siapa yang hari ini memberi makan orang miskin? Abu Bakar menjawab: ‘Saya’”

“Siapa yang hari ini menjenguk orang sakit? Abu Bakar menjawab: ‘Saya’”

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam lalu bersabda: ‘Tidaklah semua ini dilakukan oleh seseorang kecuali dia akan masuk surga’

15. Orang musyrik mensifati Abu Bakar Ash Shiddiq sebagaimana Khadijah mensifati Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam

Mereka berkata tentang Abu Bakar:

أَتُخْرِجُونَ رَجُلًا يُكْسِبُ الْمَعْدُومَ وَيَصِلُ الرَّحِمَ وَيَحْمِلُ الْكَلَّ وَيَقْرِي الضَّيْفَ وَيُعِينُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ

“Apakah kalian mengusir orang yang suka bekerja untuk mereka yang tidak berpunya, menyambung silaturahim, menanggung orang-orang yang lemah, menjamu tamu dan selalu menolong di jalan kebenaran?” (HR. Bukhari)

16. Ali Radhiallahu’anhu mengenal keutamaan Abu Bakar Ash Shiddiq

Muhammad bin Al Hanafiyyah berkata, aku bertanya kepada ayahku, yaitu Ali bin Abi Thalib:

أي الناس خير بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم ؟ قال : أبو بكر . قلت : ثم من ؟ قال : ثم عمر ، وخشيت أن يقول عثمان قلت : ثم أنت ؟ قال : ما أنا إلا رجل من المسلمين

Manusia mana yang terbaik sepeninggal Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam? Ali menjawab: Abu Bakar. Aku berkata: ‘Kemudian siapa lagi?’. Ali berkata: ‘Lalu Umar’. Aku lalu khawatir yang selanjutnya adalah Utsman, maka aku berkata: ‘Selanjutnya engkau?’. Ali berkata: ‘Aku ini hanyalah orang muslim biasa’” (HR. Bukhari)

Sikap Zuhud

Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu’anhu meninggal tanpa meninggalkan sepeserpun dirham atau dinar. Diriwayatkan dari Al Hasan bin Ali Radhiallahu’anhu:

لما احتضر أبو بكر رضي الله عنه قال : يا عائشة أنظري اللقحة التي كنا نشرب من لبنها والجفنة التي كنا نصطبح فيها والقطيفة التي كنا نلبسها فإنا كنا ننتفع بذلك حين كنا في أمر المسلمين ، فإذا مت فاردديه إلى عمر ، فلما مات أبو بكر رضي الله عنه أرسلت به إلى عمر رضي الله عنه فقال عمر رضي الله عنه : رضي الله عنك يا أبا بكر لقد أتعبت من جاء بعدك

Ketika Al Hasan sedang bersama Abu Bakar Radhiallahu’anhu, Abu Bakar berkata, wahai ‘Aisyah tolong perhatikan unta perahan yang biasa kita ambil susunya, dan mangkuk besar yang sering kita pakai untuk tempat penerangan, dan kain beludru yang biasa kita pakai. Sesungguhnya kita mengambil manfaat dari itu semua saat aku mengurusi urusan kaum muslimin. Jika aku mati, kembalikanlah semuanya kepada Umar. Maka ketika Abu Bakar wafat, ‘Aisyah mengirim semua itu kepada Umar Radhiallahu’anhu. Umar pun berkata: ‘Semoga Allah meridhaimu wahai Abu Bakar, sungguh lelah orang yang datang setelahmu’

Sikap Wara’

Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu’anhu adalah orang yang wara’ dan zuhud terhadap dunia sampai-sampai ketika ia menjadi khalifah, ia pun tetap pergi bekerja mencari nafkah. Umar bin Khattab pun Radhiallahu’anhu melarangnya dan menganjurkan ia untuk mengambil upah dari baitul maal, menimbang betapa beratnya tugas seorang khalifah.

Dikisahkan pula dari ‘Aisyah Radhiallahu’anha, ia berkata:

كان لأبي بكر غلام يخرج له الخراج ، وكان أبو بكر يأكل من خراجه ، فجاء يوماً بشيء ، فأكل منه أبو بكر ، فقال له الغلام : تدري ما هذا ؟ فقال أبو بكر : وما هو ؟ قال : كنت تكهّنت لإنسان في الجاهلية وما أحسن الكهانة إلا أني خدعته ، فلقيني فأعطاني بذلك فهذا الذي أكلت منه ، فأدخل أبو بكر يده فقاء كل شيء في بطنه . رواه البخاري

Abu Bakar Ash Shiddiq memiliki budak laki-laki yang senantiasa mengeluarkan kharraj (setoran untuk majikan) padanya. Abu Bakar biasa makan dari kharraj itu. Pada suatu hari ia datang dengan sesuatu, yang akhirnya Abu Bakar makan darinya. Tiba-tiba sang budak berkata: ‘Apakah anda tahu dari mana makanan ini?’. Abu Bakar bertanya : ‘Dari mana?’ Ia menjawab : ‘Dulu pada masa jahiliyah aku pernah menjadi dukun yang menyembuhkan orang. Padahal bukannya aku pandai berdukun, namun aku hanya menipunya. Lalu si pasien itu menemuiku dan memberi imbalan buatku. Nah, yang anda makan saat ini adalah hasil dari upah itu. Akhirnya Abu Bakar memasukkan tangannya ke dalam mulutnya hingga keluarlah semua yang ia makan” (HR. Bukhari)

Wafat beliau

Beliau wafat pada hari Senin di bulan Jumadil Awwal tahun 30 H ketika beliau berusia 63 tahun.

Semoga Allah meridhainya dan mengumpulkan kita bersamanya di surga kelak

Utsman bin Affan

Utsman bin Affan

Khalifah Islam Ke-3Utsman
Khalifah Ar-Rasyidin

Lahir

Utsman bin Affan
574
Ta’if, Jazirah Arab (Sekarang Saudi Arabia)

Meninggal

17 Juli 656

Tempat peristirahatan

Madinah, Jazirah Arab

Dikenal karena

Sahabat Nabi Muhammad

Agama

Islam

Utsman bin Affan (bahasa Arab: عثمان بن عفان, 574656 / 12 Dzulhijjah 35 H; umur 81–82 tahun)[1] adalah sahabat Nabi Muhammad SAW yang termasuk Khulafaur Rasyidin yang ke-3. Utsman adalah seorang yang saudagar yang kaya tetapi sangatlah dermawan. Ia juga berjasa dalam hal membukukan Al-Qur’an.

Ia adalah khalifah ketiga yang memerintah dari tahun 644 (umur 69–70 tahun) hingga 656 (selama 11–12 tahun). Selain itu sahabat nabi yang satu ini memiliki sifat yang sangat pemalu.

Utsman bin Affan adalah sahabat nabi dan juga khalifah ketiga dalam Khulafaur Rasyidin. ia dikenal sebagai pedagang kaya raya dan ekonom yang handal namun sangat dermawan. Banyak bantuan ekonomi yang diberikannya kepada umat Islam di awal dakwah Islam. Ia mendapat julukan Dzunnurain yang berarti yang memiliki dua cahaya. Julukan ini didapat karena Utsman telah menikahi puteri kedua dan ketiga dari Rasullah Saw yaitu Ruqayah dan Ummu Kaltsum.

Daftar isi

Kelahiran

Usman bin Affan lahir pada 574 Masehi dari golongan Bani Umayyah. Nama ibunya adalah Arwa binti Kuriz bin Rabiah. ia masuk Islam atas ajakan Abu Bakar dan termasuk golongan As-Sabiqun al-Awwalun (golongan yang pertama-tama masuk Islam). Rasulullah Saw sendiri menggambarkan Utsman bin Affan sebagai pribadi yang paling jujur dan rendah hati di antara kaum muslimin. Diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Aisyah bertanya kepada Rasulullah Saw, ‘Abu Bakar masuk tapi engkau biasa saja dan tidak memberi perhatian khusus, lalu Umar masuk engkau pun biasa saja dan tidak memberi perhatian khusus. Akan tetapi ketika Utsman masuk engkau terus duduk dan membetulkan pakaian, mengapa?’ Rasullullah menjawab, “Apakah aku tidak malu terhadap orang yang malaikat saja malu kepadanya?”

Pada saat seruan hijrah pertama oleh Rasullullah Saw ke Habbasyiah karena meningkatnya tekanan kaum Quraisy terhadap umat Islam, Utsman bersama istri dan kaum muslimin lainnya memenuhi seruan tersebut dan hijrah ke Habasyiah hingga tekanan dari kaum Quraisy reda. Tak lama tinggal di Mekah, Utsman mengikuti Nabi Muhammad Saw untuk hijrah ke Madinah. Pada peristiwa Hudaibiyah, Utsman dikirim oleh Rasullah untuk menemui Abu Sofyan di Mekkah. Utsman diperintahkan Nabi untuk menegaskan bahwa rombongan dari Madinah hanya akan beribadah di Ka’bah, lalu segera kembali ke Madinah, bukan untuk memerangi penduduk Mekkah.

Pada saat Perang Dzatirriqa dan Perang Ghatfahan berkecamuk, dimana Rasullullah Saw memimpin perang, Utsman dipercaya menjabat walikota Madinah. Saat Perang Tabuk, Utsman mendermakan 950 ekor unta dan 70 ekor kuda, ditambah 1000 dirham sumbangan pribadi untuk perang Tabuk, nilainya sama dengan sepertiga biaya perang tersebut. Utsman bin Affan juga menunjukkan kedermawanannya tatkala membeli mata air yang bernama Rumah dari seorang lelaki suku Ghifar seharga 35.000 dirham. Mata air itu ia wakafkan untuk kepentingan rakyat umum.[2] Pada masa pemerintahan Abu Bakar, Utsman juga pernah memberikan gandum yang diangkut dengan 1000 unta untuk membantu kaum miskin yang menderita di musim kering.

Setelah wafatnya Umar bin Khattab sebagai khalifah kedua, diadakanlah musyawarah untuk memilik khalifah selanjutnya. Ada enam orang kandidat khalifah yang diusulkan yaitu Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Abdul Rahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqas, Zubair bin Awwam dan Thalhah bin Ubaidillah. Selanjutnya Abdul Rahman bin Auff, Sa’ad bin Abi Waqas, Zubair bin Awwam, dan Thalhah bin Ubaidillah mengundurkan diri hingga hanya Utsman dan Ali yang tertinggal. Suara masyarakat pada saat itu cenderung memilih Utsman menjadi khalifah ketiga. Maka diangkatlah Utsman yang berumur 70 tahun menjadi khalifah ketiga dan yang tertua, serta yang pertama dipilih dari beberapa calon. Peristiwa ini terjadi pada bulan Muharram 24 H. Utsman menjadi khalifah di saat pemerintah Islam telah betul-betul mapan dan terstruktur.

ia adalah khalifah kali pertama yang melakukan perluasan masjid al-Haram (Mekkah) dan masjid Nabawi (Madinah) karena semakin ramai umat Islam yang menjalankan rukun Islam kelima (haji). ia mencetuskan ide polisi keamanan bagi rakyatnya; membuat bangunan khusus untuk mahkamah dan mengadili perkara yang sebelumnya dilakukan di masjid; membangun pertanian, menaklukan Syiria, Afrika Utara, Persia, Khurasan, Palestina, Siprus, Rodhes, dan juga membentuk angkatan laut yang kuat. Jasanya yang paling besar adalah saat mengeluarkan kebijakan untuk mengumpulkan Al-Quran dalam satu mushaf.

Selama masa jabatannya, Utsman banyak mengganti gubernur wilayah yang tidak cocok atau kurang cakap dan menggantikaannya dengan orang-orang yang lebih kredibel. Namun hal ini banyak membuat sakit hati pejabat yang diturunkan sehingga mereka bersekongkol untuk membunuh khalifah.

Kematian

Khalifah Utsman kemudian dikepung oleh pemberontak selama 40 hari dimulai dari bulan Ramadhan hingga Dzulhijah. Beliau diberi 2 ulimatum oleh pemberontak (Ghafiki dan Sudan), yaitu mengundurkan diri atau dibunuh. Meski Utsman mempunyai kekuatan untuk menyingkirkan pemberontak, namun ia berprinsip untuk tidak menumpahkan darah umat Islam. Utsman akhirnya wafat sebagai syahid pada bulan Dzulhijah 35 H ketika para pemberontak berhasil memasuki rumahnya dan membunuh Utsman saat sedang membaca Al-Quran. Persis seperti apa yang disampaikan Rasullullah Saw perihal kematian Utsman yang syahid nantinya. peristiwa pembunuhan usman berawal dari pengepungan rumah usman oleh para pemberontak selama 40 hari.usman wafat pada hari Jumat 18 Dzulhijjah 35 H.[3] Ia dimakamkan di kuburan Baqi di Madinah.

Referensi

[3]

  1. ^ (Indonesia) Utsman bin ‘Affan (Wafat 35 H). Ahlulhadist.wordpress.com.
  2. ^ (Arab) HR Baghawi (w. 317 H) dalam Mu’jam Shahabah (191).
  3. ^ a b Haekal, muhammad Husain : “Usman bin Affan”, halaman 142-144. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa. ISBN : 978-979-8100-40-6

Gelar kebangsawanan

Didahului oleh:
Umar bin Khattab

Khulafaur Rasyidin
(632661)

Digantikan oleh:
Ali bin Abi Thalib

Ali bin Abi Thalib

Ali bin Abi Thalib

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Text document with red question mark.svg
Artikel ini sudah memiliki daftar referensi, bacaan terkait atau pranala luar, tapi sumbernya masih belum jelas karena tak memiliki kutipan pada kalimat. Mohon tingkatkan kualitas artikel ini dengan memasukkan rujukan yang lebih mendetil bila perlu.
“Ali” beralih ke halaman ini. Untuk kegunaan lain dari Ali, lihat Ali (disambiguasi).
Khalifah Islam Ke-4Ali
Khalifah Ar-Rasyidin
Lahir Ali bin Abi Thalib
599
Mekkah, Jazirah Arab (Sekarang Saudi Arabia)
Meninggal 28 Januari 661
Tempat peristirahatan Najaf, Irak
Dikenal karena Sahabat Nabi Muhammad
Agama Islam

‘Alī bin Abī Thālib (Arab: علي بن أﺑﻲ طالب, Persia: علی پسر ابو طالب)‎ (lahir sekitar 13 Rajab 23 Pra Hijriah/599 – wafat 21 Ramadan 40 Hijriah/661), adalah salah seorang pemeluk Islam pertama dan juga keluarga dari Nabi Muhammad. Menurut Islam Sunni, ia adalah Khalifah terakhir dari Khulafaur Rasyidin. Sedangkan Syi’ah berpendapat bahwa ia adalah Imam sekaligus Khalifah pertama yang dipilih oleh Rasulullah Muhammad SAW. Uniknya meskipun Sunni tidak mengakui konsep Imamah mereka setuju memanggil Ali dengan sebutan Imam, sehingga Ali menjadi satu-satunya Khalifah yang sekaligus juga Imam. Ali adalah sepupu dari Muhammad, dan setelah menikah dengan Fatimah az-Zahra, ia menjadi menantu Muhammad.

Daftar isi

Perbedaan pandangan mengenai pribadi Ali bin Abi Thalib

Syi’ah

Bagian dari artikel tentang
Imam Syi’ah
Dua Belas Imam


  1. Ali bin Abi Thalib
  2. Hasan al-Mujtaba
  3. Husain asy-Syahid
  4. Ali Zainal Abidin
  5. Muhammad al-Baqir
  6. Ja’far ash-Shadiq
  7. Musa al-Kadzim
  8. Ali ar-Ridha
  9. Muhammad al-Jawad
  10. Ali al-Hadi
  11. Hasan al-Askari
  12. Muhammad al-Mahdi

lihat • bicara • sunting

Syi’ah berpendapat bahwa Ali adalah khalifah yang berhak menggantikan Nabi Muhammad, dan sudah ditunjuk oleh Beliau atas perintah Allah di Ghadir Khum. Syi’ah meninggikan kedudukan Ali atas Sahabat Nabi yang lain, seperti Abu Bakar dan Umar bin Khattab.

Syi’ah selalu menambahkan nama Ali bin Abi Thalib dengan Alayhi Salam (AS) atau semoga Allah melimpahkan keselamatan dan kesejahteraan.

Sunni

Sebagian Sunni yaitu mereka yang menjadi anggota Bani Umayyah dan para pendukungnya memandang Ali sama dengan Sahabat Nabi yang lain.

Sunni menambahkan nama Ali dengan Radhiyallahu Anhu (RA) atau semoga Allah melimpahkan Ridha (ke-suka-an)nya. Tambahan ini sama sebagaimana yang juga diberikan kepada Sahabat Nabi yang lain.

Sufi

Sufi menambahkan nama Ali bin Abi Thalib dengan Karramallahu Wajhah (KW) atau semoga Allah me-mulia-kan wajahnya. Doa kaum Sufi ini sangat unik, berdasar riwayat bahwa beliau tidak suka menggunakan wajahnya untuk melihat hal-hal buruk bahkan yang kurang sopan sekalipun. Dibuktikan dalam sebagian riwayat bahwa beliau tidak suka memandang ke bawah bila sedang berhubungan intim dengan istri. Sedangkan riwayat-riwayat lain menyebutkan dalam banyak pertempuran (duel-tanding), bila pakaian musuh terbuka bagian bawah terkena sobekan pedang beliau, maka Ali enggan meneruskan duel hingga musuhnya lebih dulu memperbaiki pakaiannya.

Ali bin Abi Thalib dianggap oleh kaum Sufi sebagai Imam dalam ilmu al-hikmah (divine wisdom) dan futuwwah (spiritual warriorship). Dari beliau bermunculan cabang-cabang tarekat (thoriqoh) atau spiritual-brotherhood. Hampir seluruh pendiri tarekat Sufi, adalah keturunan beliau sesuai dengan catatan nasab yang resmi mereka miliki. Seperti pada tarekat Qadiriyah dengan pendirinya Syekh Abdul Qadir Jaelani, yang merupakan keturunan langsung dari Ali melalui anaknya Hasan bin Ali seperti yang tercantum dalam kitab manaqib Syekh Abdul Qadir Jilani (karya Syekh Ja’far Barzanji) dan banyak kitab-kitab lainnya.

Riwayat Hidup

Kelahiran & Kehidupan Keluarga

Kelahiran

Ali dilahirkan di Mekkah, daerah Hejaz, Jazirah Arab, pada tanggal 13 Rajab. Menurut sejarawan, Ali dilahirkan 10 tahun sebelum dimulainya kenabian Muhammad, sekitar tahun 599 Masehi atau 600(perkiraan). Muslim Syi’ah percaya bahwa Ali dilahirkan di dalam Ka’bah. Usia Ali terhadap Nabi Muhammad masih diperselisihkan hingga kini, sebagian riwayat menyebut berbeda 25 tahun, ada yang berbeda 27 tahun, ada yang 30 tahun bahkan 32 tahun.

Beliau bernama asli Haydar bin Abu Thalib, paman Nabi Muhammad SAW. Haydar yang berarti Singa adalah harapan keluarga Abu Thalib untuk mempunyai penerus yang dapat menjadi tokoh pemberani dan disegani di antara kalangan Quraisy Mekkah.

Setelah mengetahui sepupu yang baru lahir diberi nama Haydar,[rujukan?] Nabi SAW memanggil dengan Ali yang berarti Tinggi(derajat di sisi Allah).

Kehidupan Awal

Ali dilahirkan dari ibu yang bernama Fatimah binti Asad, dimana Asad merupakan anak dari Hasyim, sehingga menjadikan Ali, merupakan keturunan Hasyim dari sisi bapak dan ibu.

Kelahiran Ali bin Abi Thalib banyak memberi hiburan bagi Nabi SAW karena beliau tidak punya anak laki-laki. Uzur dan faqir nya keluarga Abu Thalib memberi kesempatan bagi Nabi SAW bersama istri beliau Khadijah untuk mengasuh Ali dan menjadikannya putra angkat. Hal ini sekaligus untuk membalas jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuh Nabi sejak beliau kecil hingga dewasa, sehingga sedari kecil Ali sudah bersama dengan Muhammad.

Dalam biografi asing (Barat), hubungan Ali kepada Nabi Muhammad SAW dilukiskan seperti Yohanes Pembaptis (Nabi Yahya) kepada Yesus (Nabi Isa). Dalam riwayat-riwayat Syi’ah dan sebagian riwayat Sunni, hubungan tersebut dilukiskan seperti Nabi Harun kepada Nabi Musa.

Masa Remaja

Ketika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, riwayat-riwayat lama seperti Ibnu Ishaq menjelaskan Ali adalah lelaki pertama yang mempercayai wahyu tersebut atau orang ke 2 yang percaya setelah Khadijah istri Nabi sendiri. Pada titik ini Ali berusia sekitar 10 tahun.

Pada usia remaja setelah wahyu turun, Ali banyak belajar langsung dari Nabi SAW karena sebagai anak asuh, berkesempatan selalu dekat dengan Nabi hal ini berkelanjutan hingga beliau menjadi menantu Nabi. Hal inilah yang menjadi bukti bagi sebagian kaum Sufi bahwa ada pelajaran-pelajaran tertentu masalah ruhani (spirituality dalam bahasa Inggris atau kaum Salaf lebih suka menyebut istilah ‘Ihsan’) atau yang kemudian dikenal dengan istilah Tasawuf yang diajarkan Nabi khusus kepada beliau tapi tidak kepada Murid-murid atau Sahabat-sahabat yang lain.

Karena bila ilmu Syari’ah atau hukum-hukum agama Islam baik yang mengatur ibadah maupun kemasyarakatan semua yang diterima Nabi harus disampaikan dan diajarkan kepada umatnya, sementara masalah ruhani hanya bisa diberikan kepada orang-orang tertentu dengan kapasitas masing-masing.

Didikan langsung dari Nabi kepada Ali dalam semua aspek ilmu Islam baik aspek zhahir (exterior) atau syariah dan bathin (interior) atau tasawuf menggembleng Ali menjadi seorang pemuda yang sangat cerdas, berani dan bijak.

Kehidupan di Mekkah sampai Hijrah ke Madinah

Ali bersedia tidur di kamar Nabi untuk mengelabui orang-orang Quraisy yang akan menggagalkan hijrah Nabi. Beliau tidur menampakkan kesan Nabi yang tidur sehingga masuk waktu menjelang pagi mereka mengetahui Ali yang tidur, sudah tertinggal satu malam perjalanan oleh Nabi yang telah meloloskan diri ke Madinah bersama Abu Bakar.

Kehidupan di Madinah

Perkawinan

Setelah masa hijrah dan tinggal di Madinah, Ali dinikahkan Nabi dengan putri kesayangannya Fatimah az-Zahra yang banyak dinanti para pemuda. Nabi menimbang Ali yang paling tepat dalam banyak hal seperti Nasab keluarga yang se-rumpun (Bani Hasyim), yang paling dulu mempercayai ke-nabi-an Muhammad (setelah Khadijah), yang selalu belajar di bawah Nabi dan banyak hal lain.

Julukan

Ketika Muhammad mencari Ali menantunya, ternyata Ali sedang tidur. Bagian atas pakaiannya tersingkap dan debu mengotori punggungnya. Melihat itu Muhammad pun lalu duduk dan membersihkan punggung Ali sambil berkata, “Duduklah wahai Abu Turab, duduklah.” Turab yang berarti debu atau tanah dalam bahasa Arab. Julukan tersebut adalah julukan yang paling disukai oleh Ali.

Pertempuran yang diikuti pada masa Nabi saw

Perang Badar

Beberapa saat setelah menikah, pecahlah perang Badar, perang pertama dalam sejarah Islam. Di sini Ali betul-betul menjadi pahlawan disamping Hamzah, paman Nabi. Banyaknya Quraisy Mekkah yang tewas di tangan Ali masih dalam perselisihan, tapi semua sepakat beliau menjadi bintang lapangan dalam usia yang masih sangat muda sekitar 25 tahun.

Perang Khandaq

Perang Khandaq juga menjadi saksi nyata keberanian Ali bin Abi Thalib ketika memerangi Amar bin Abdi Wud . Dengan satu tebasan pedangnya yang bernama dzulfikar, Amar bin Abdi Wud terbelah menjadi dua bagian.

Perang Khaibar

Setelah Perjanjian Hudaibiyah yang memuat perjanjian perdamaian antara kaum Muslimin dengan Yahudi, dikemudian hari Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut sehingga pecah perang melawan Yahudi yang bertahan di Benteng Khaibar yang sangat kokoh, biasa disebut dengan perang Khaibar. Di saat para sahabat tidak mampu membuka benteng Khaibar, Nabi saw bersabda:

“Besok, akan aku serahkan bendera kepada seseorang yang tidak akan melarikan diri, dia akan menyerang berulang-ulang dan Allah akan mengaruniakan kemenangan baginya. Allah dan Rasul-Nya mencintainya dan dia mencintai Allah dan Rasul-Nya”.

Maka, seluruh sahabat pun berangan-angan untuk mendapatkan kemuliaan tersebut. Namun, temyata Ali bin Abi Thalib yang mendapat kehormatan itu serta mampu menghancurkan benteng Khaibar dan berhasil membunuh seorang prajurit musuh yang berani bernama Marhab lalu menebasnya dengan sekali pukul hingga terbelah menjadi dua bagian.

Peperangan lainnya

Hampir semua peperangan beliau ikuti kecuali perang Tabuk karena mewakili nabi Muhammad untuk menjaga kota Madinah.

Setelah Nabi wafat

Sampai disini hampir semua pihak sepakat tentang riwayat Ali bin Abi Thalib, perbedaan pendapat mulai tampak ketika Nabi Muhammad wafat. Syi’ah berpendapat sudah ada wasiat (berdasar riwayat Ghadir Khum) bahwa Ali harus menjadi Khalifah bila Nabi SAW wafat. Tetapi Sunni tidak sependapat, sehingga pada saat Ali dan Fatimah masih berada dalam suasana duka orang-orang Quraisy bersepakat untuk membaiat Abu Bakar.

Menurut riwayat dari Al-Ya’qubi dalam kitab Tarikh-nya Jilid II Menyebutkan suatu peristiwa sebagai berikut. Dalam perjalan pulang ke Madinah seusai menunaikan ibadah haji ( Hijjatul-Wada’),malam hari Rasulullah saw bersama rombongan tiba di suatu tempat dekat Jifrah yang dikenal denagan nama “GHADIR KHUM.” Hari itu adalah hari ke-18 bulan Dzulhijah. Ia keluar dari kemahnya kemudia berkhutbah di depan jamaah sambil memegang tangan Imam Ali Bin Abi Tholib r.a.Dalam khutbahnya itu antara lain beliau berkata : “Barang siapa menanggap aku ini pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya.Ya Allah, pimpinlah orang yang mengakui kepemimpinannya dan musuhilah orang yang memusuhinya”

Pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah tentu tidak disetujui keluarga Nabi Ahlul Baitdan pengikutnya. Beberapa riwayat berbeda pendapat waktu pem-bai’at-an Ali bin Abi Thalib terhadap Abu Bakar sebagai Khalifah pengganti Rasulullah. Ada yang meriwayatkan setelah Nabi dimakamkan, ada yang beberapa hari setelah itu, riwayat yang terbanyak adalah Ali mem-bai’at Abu Bakar setelah Fatimah meninggal, yaitu enam bulan setelah meninggalnya Rasulullah demi mencegah perpecahan dalam ummat

Ada yang menyatakan bahwa Ali belum pantas untuk menyandang jabatan Khalifah karena umurnya yang masih muda, ada pula yang menyatakan bahwa kekhalifahan dan kenabian sebaiknya tidak berada di tangan Bani Hasyim.

Sebagai khalifah

Peristiwa pembunuhan terhadap Khalifah Utsman bin Affan mengakibatkan kegentingan di seluruh dunia Islam yang waktu itu sudah membentang sampai ke Persia dan Afrika Utara. Pemberontak yang waktu itu menguasai Madinah tidak mempunyai pilihan lain selain Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah, waktu itu Ali berusaha menolak, tetapi Zubair bin Awwam dan Talhah bin Ubaidillah memaksa beliau, sehingga akhirnya Ali menerima bai’at mereka. Menjadikan Ali satu-satunya Khalifah yang dibai’at secara massal, karena khalifah sebelumnya dipilih melalui cara yang berbeda-beda.

Sebagai Khalifah ke-4 yang memerintah selama sekitar 5 tahun. Masa pemerintahannya mewarisi kekacauan yang terjadi saat masa pemerintah Khalifah sebelumnya, Utsman bin Affan. Untuk pertama kalinya perang saudara antara umat Muslim terjadi saat masa pemerintahannya, Pertempuran Basra. 20.000 pasukan pimpinan Ali melawan 30.000 pasukan pimpinan Zubair bin Awwam, Talhah bin Ubaidillah, dan Ummul mu’minin Aisyah binti Abu Bakar, janda Rasulullah. Perang tersebut dimenangkan oleh pihak Ali.

Peristiwa pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan yang menurut berbagai kalangan waktu itu kurang dapat diselesaikan karena fitnah yang sudah terlanjur meluas dan sudah diisyaratkan (akan terjadi) oleh Nabi Muhammad SAW ketika beliau masih hidup, dan diperparah oleh hasutan-hasutan para pembangkang yang ada sejak zaman Utsman bin Affan, menyebabkan perpecahan di kalangan kaum muslim sehingga menyebabkan perang tersebut. Tidak hanya selesai di situ, konflik berkepanjangan terjadi hingga akhir pemerintahannya. Pertempuran Shiffin yang melemahkan kekhalifannya juga berawal dari masalah tersebut.

Ali bin Abi Thalib, seseorang yang memiliki kecakapan dalam bidang militer dan strategi perang, mengalami kesulitan dalam administrasi negara karena kekacauan luar biasa yang ditinggalkan pemerintahan sebelumya. Ia meninggal di usia 63 tahun karena pembunuhan oleh Abdrrahman bin Muljam, seseorang yang berasal dari golongan Khawarij (pembangkang) saat mengimami salat subuh di masjid Kufah, pada tanggal 19 Ramadhan, dan Ali menghembuskan napas terakhirnya pada tanggal 21 Ramadhan tahun 40 Hijriyah. Ali dikuburkan secara rahasia di Najaf, bahkan ada beberapa riwayat yang menyatakan bahwa ia dikubur di tempat lain.

Keturunan

!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Keturunan Ali bin Abi Thalib

Ali memiliki delapan istri setelah meninggalnya Fatimah az-Zahra[1] dan memiliki keseluruhan 36 orang anak. Dua anak laki-lakinya yang terkenal, lahir dari anak Nabi Muhammad, Fatimah, adalah Hasan dan Husain.

Keturunan Ali melalui Fatimah dikenal dengan Syarif atau Sayyid, yang merupakan gelar kehormatan dalam Bahasa Arab, Syarif berarti bangsawan dan Sayyed berarti tuan. Sebagai keturunan langsung dari Muhammad, mereka dihormati oleh Sunni dan Syi’ah.

Menurut riwayat, Ali bin Abi Thalib memiliki 36 orang anak yang terdiri dari 18 anak laki-laki dan 18 anak perempuan. Sampai saat ini keturunan itu masih tersebar, dan dikenal dengan Alawiyin atau Alawiyah. Sampai saat ini keturunan Ali bin Abi Thalib kerap digelari Sayyid.

Anak laki-laki Anak perempuan
Hasan al-Mujtaba Zainab al-Kubra
Husain asy-Syahid Zainab al-Sughra
Muhammad bin al-Hanafiah Ummu Kaltsum
Abbas al-Akbar (dijuluki Abu Fadl) Ramlah al-Kubra
Abdullah al-Akbar Ramlah al-Sughra
Ja’far al-Akbar Nafisah
Utsman al-Akbar Ruqaiyah al-Sughra
Muhammad al-Ashghar Ruqaiyah al-Kubra
Abdullah al-Ashghar Maimunah
Abdullah (yang dijuluki Abu Ali) Zainab al-Sughra
‘Aun Ummu Hani
Yahya Fathimah al-Sughra
Muhammad al-Ausath Umamah
Utsman al-Ashghar Khadijah al-Sughra
Abbas al-Ashghar Ummu al-Hasan
Ja’far al-Ashghar Ummu Salamah
Umar al-Ashghar Hamamah
Umar al-Akbar Ummu Kiram

10 Sahabat Rosulullah yang di Jamin Masuk Surga

10 Sahabat Rosulullah yang di Jamin Masuk Surga

 

Sahabat Rasulullah SAW yang dijamin masuk surga berdasarkan hadits berikut: Tercatat dalam “ARRIYADH ANNADHIRAH FI MANAQIBIL ASYARAH“ dari sahabat Abu Dzar ra, bahwa Rasulullah masuk ke rumah Aisyah ra dan bersabda: “Wahai Aisyah, inginkah engkau mendengar kabar gembira?” Aisyah menjawab : “Tentu, ya Rasulullah.” Lalu Nabi SAW bersabda, ”Ada sepuluh orang yang mendapat kabar gembira masuk surga, yaitu : Ayahmu masuk surga dan kawannya adalah Ibrahim; Umar masuk surga dan kawannya Nuh; Utsman masuk surga dan kawannya adalah aku; Ali masuk surga dan kawannya adalah Yahya bin Zakariya; Thalhah masuk surga dan kawannya adalah Daud; Azzubair masuk surga dan kawannya adalah Ismail; Sa’ad masuk surga dan kawannya adalah Sulaiman; Said bin Zaid masuk surga dan kawannya adalah Musa bin Imran; Abdurrahman bin Auf masuk surga dan kawannya adalah Isa bin Maryam; Abu Ubaidah ibnul Jarrah masuk surga dan kawannya adalah Idris Alaihissalam.” Kisah singkat 10 Sahabat

1. Abu Bakar bin Abi Qahafah (As siddiq), adalah seorang Quraisy dari kabilah yang sama dengan Rasulullah, hanya berbeda keluarga. Bila Abu Bakar berasal dari keluarga Tamimi, maka Rasulullah berasal dari keluarga Hasyimi. Keutamaannya, Abu Bakar adalah seorang pedagang yang selalu menjaga kehormatan diri. Ia seorang yang kaya, pengaruhnya besar serta memiliki akhlaq yang mulia. Sebelum datangnya Islam, beliau adalah sahabat Rasulullah yang memiliki karakter yang mirip dengan Rasulullah. Belum pernah ada orang yang menyaksikan Abu Bakar minum arak atau pun menyembah berhala. Dia tidak pernah berdusta. Begitu banyak kemiripan antara beliau dengan Rasulullah sehingga tak heran kemudian beliau menjadi khalifah pertama setelah Rasulullah wafat. Rasulullah selalu mengutamakan Abu Bakar ketimbang para sahabatnya yang lain sehingga tampak menojol di tengah tengah orang lain. “Jika ditimbang keimanan Abu Bakar dengan keimanan seluruh ummat niscaya akan lebih berat keimanan Abu Bakar. ”(HR. Al Baihaqi) Al Qur’an pun banyak mengisyaratkan sikap dan tindakannya seperti yang dikatakan dalam firmanNya, QS Al Lail 5-7, 17-21, Fushilat 30, At Taubah 40. Dalam masa yang singkat sebagai Khalifah, Abu Bakar telah banyak memperbarui kehidupan kaum muslimin, memerangi nabi palsu, dan kaum muslimin yang tidak mau membayar zakat. Pada masa pemerintahannya pulalah penulisan AlQur’an dalam lembaran-lembaran dimulai.

2. Umar Ibnul Khattab, ia berasal dari kabilah yang sama dengan Rasulullah SAW dan masih satu kakek yakni Ka’ab bin Luai. Umar masuk Islam setelah bertemu dengan adiknya Fatimah daan suami adiknya Said bin Zaid pada tahun keenam kenabian dan sebelum Umar telah ada 39 orang lelaki dan 26 wanita yang masuk Islam. Di kaumnya Umar dikenal sebagai seorang yang pandai berdiskusi, berdialog, memecahkan permasalahan serta bertempramen kasar. Setelah Umar masuk Islam, da’wah kemudian dilakukan secara terang-terangan, begitupun di saat hijrah, Umar adalah segelintir orang yang berhijrah dengan terang-terangan. Ia sengaja berangkat pada siang hari dan melewati gerombolan Quraisy. Ketika melewati mereka, Umar berkata, ”Aku akan meninggalkan Mekah dan menuju Madinah. Siapa yang ingin menjadikan ibunya kehilangan putranya atau ingin anaknya menjadi yatim, silakan menghadang aku di belakang lembah ini!” Mendengar perkataan Umar tak seorangpun yang berani membuntuti apalagi mencegah Umar. Banyak pendapat Umar yang dibenarkan oleh Allah dengan menurunkan firmanNya seperti saat peristiwa kematian Abdullah bin Ubay (QS 9:84), ataupun saat penentuan perlakuan terhadap tawanan saat perang Badar, pendapat Umar dibenarkan Allah dengan turunnya ayat 67 surat Al Anfal. Sebagai khalifah, Umar adalah seorang yang sangat memperhatikan kesejahteraan ummatnya, sampai setiap malam ia berkeliling khawatir masih ada yang belum terpenuhi kebutuhannya, serta kekuasaan Islam pun semakin meluas keluar jazirah Arab.

3. Utsman bin Affan, sebuah Hadits yang menggambarkan pribadi Utsman : “Orang yang paling kasih sayang diantara ummatku adalah Abu Bakar, dan paling teguh dalam menjaga ajaran Allah adalah Umar, dan yang paling bersifat pemalu adalah Utsman. (HR Ahmad, Ibnu Majah, Al Hakim, At Tirmidzi) Utsman adalah seorang yang sangat dermawan, dalam sebuah persiapan pasukan pernah Utsman yang membiayainya seorang diri. Setelah kaum muslimin hijrah, saat kesulitan air, Utsmanlah yang membeli sumur dari seorang Yahudi untuk kepentingan kaum muslimin. Pada masa kepemimpinannya Utsman merintis penulisan Al Qur’an dalam bentuk mushaf, dari lembaran-lembaran yang mulai ditulis pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar.

 

4. Sahabat berikutnya adalah Ali bin Abi Thalib, pemuda pertama yang masuk Islam, ia yang menggantikan posisi Rasulullah di tempat tidurnya saat beliau hijrah, Ali yang dinikahkan oleh Rasulullah dengan putri kesayangannya Fatimah, Ali yang sangat sederhana kehidupannya.

5. Thalhah bin Ubaidillah  Sahabat kelima yang dijamin oleh Rasulullah SAW masuk surga , Thalhah bin Ubaidillah yang pada Uhud terkena lebih dari tujuh puluh tikaman atau panah serta jari tangannya putus. Namun Thalhah yang berperawakan kekar serta sangat kuat inilah yang melindungi Rasulullah disaat saat genting, beliau memapah Rasulullah yang tubuhnya telah berdarah menaiki bukit Uhud yang berada di ujung medan pertempuran saat kaum musyrikin pergi meninggalkan medan peperangan karena mengira Rasulullah telah wafat. Saat itu Thalhah berkata kepada Rasulullah, ”Aku tebus engkau ya Rasulullah dengan ayah dan ibuku.” Nabi tersenyum seraya berkata, ”Engkau adalah Thalhah kebajikan.” Sejak itu Beliau mendapat julukan Burung Elang hari Uhud. Rasulullah pernah berkata kepada para sahabatnya, ”Orang ini termasuk yang gugur dan barang siapa yang senang melihat seorang yang syahid berjalan di muka bumi maka lihatlah Thalhah.”

 6. Azzubair bin Awwam, sahabat yang berikutnya, adalah sahabat karib dari Thalhah. Beliau muslim pada usia lima belas tahun dan hijrah pada usia delapan belas tahun, dengan siksaan yang ia terima dari pamannya sendiri. Kepahlawanan Azzubair ibnul Awwam pertama terlihat dalam Badar saat ia berhadapan dengan Ubaidah bin Said Ibnul Ash. Azzubair ibnul Awwam berhasil menombak kedua matanya sehingga akhirnya ia tersungkur tak bergerak lagi, hal ini membuat pasukan Quraisy ketakutan. Rasulullah sangat mencintai Azzubair ibnul Awwam beliau pernah bersabda, ”Setiap nabi memiliki pengikut pendamping yang setia (hawari), dan hawariku adalah Azzubair ibnul Awwam.” Azzubair ibnul Awwam adalah suami Asma binti Abu Bakar yang mengantarkan makanan pada Rasul saat beliau hijrah bersama ayahnya. Pada masa pemerintahan Umar, saat panglima perang menghadapi tentara Romawi di Mesir Amr bin Ash meminta bala bantuan pada Amirul Mu’minin, Umar mengirimkan empat ribu prajurit yang dipimpin oleh empat orang komandan, dan ia menulis surat yang isinya, ”Aku mengirim empat ribu prajurit bala bantuan yang dipimpin empat orang sahabat terkemuka dan masing-masing bernilai seribu orang. Tahukah anda siapa empat orang komandan itu? Mereka adalah Ubadah ibnu Assamit, Almiqdaad ibnul Aswad, Maslamah bin Mukhalid, dan Azzubair bin Awwam.” Demikianlah dengan izin Allah, pasukan kaum muslimin berhasil meraih kemenangan.

7. Adalah Abdurrahman bin Auf, yang disebutkan berikutnya, adalah seorang pedagang yang sukses, namun saat berhijrah ia meninggalkan semua harta yang telah ia usahakan sekian lama. Namun saat telah di Madinahpun beliau kembali menjadi seorang yang kaya raya, dan saat beliau meninggal, wasiat beliau adalah agar setiap peserta perang Badar yang masih hidup mendapat empat ratus dinar, sedang yang masih hidup saat itu sekitar seratus orang, termasuk Ali dan Utsman. Beliaupun berwasiat agar sebagian hartanya diberikan kepada ummahatul muslimin, sehingga Aisyah berdoa: “Semoga Allah memberi minum kepadanya air dari mata air Salsabil di surga.”

8. Sahabat yang disebutkan berikutnya adalah Saad bin Abi Waqqash, orang pertama yang terkena panah fisabilillah, seorang yang keislamannya sangat dikecam oleh ibunya, namun tetap tabah, dan kukuh pada keislamannya.

 

9. Said bin Zaid, adik ipar Umar, adalah orang yang dididik oleh seorang ayah yang beroleh bihayah Islam tanpa melalui kitab atau nabi mereka seperti halnya Salman Al Farisi, dan Abu Dzar Al Ghifari. Banyak orang yang lemah berkumpul di rumah mereka untuk memperoleh ketenteraman dan keamanan, serta penghilang rasa lapar, karena Said adalah seorang sahabat yang dermawan dan murah tangan.

10. Abu Ubaidah Ibnul Jarrah  Nama terakhir yang meraih jaminan surga adalah Abu Ubaidah Ibnul Jarrah, yang akhirnya terpaksa membunuh ayahnya saat Badar, sehingga Allah menurunkan QS Al Mujadilah : 22. Begitupun dalam perang Uhud, Abu Ubaidahlah yang mencabut besi tajam yang menempel pada kedua rahang Rasulullah, dan dengan begitu beliau rela kehilangan giginya. Abu Ubaidah mendapat gelar dari Rasulullah sebagai pemegang amanat ummat, seperti dalam sabda beliau : “Tiap-tiap ummat ada orang pemegang amanat, dan pemegang amanat ummat ini adalah Abu Ubaidah Ibnul Jarrah.”

Tinggalkan komentar